• Rabu, 18 Juli 2012

      Peninggalan Rosululloh

      Inilah peninggalan peninggalan Rosululloh S a w yang masih utuh sampai sekarang






      Gigi dan beberapa Rambut Nabi S a w 



      Telumpah dan Telapak Nabi S a w




       Bentuk Pedang Pada masa Rosululloh S a w.



      Jejak kaki Rosululloh Saw.

      Surat Dari kulit Zaman Rosululloh S a w.

      Daun Pintu Kakbah masa Rosululloh S a w.

      Semoga dapat mengobati rasa rindu kita pada junjungan nabi yang mulia Muhammad S A W. dan menambah kecintaan kita terhadap beliau.













      TASAWUF DALAM PERGULATAN ZAMAN: Dari Tasawuf Falsafi ke Tasawuf ‘Amali[1]


      pns15
      Prof. Dr. H. Nur Syam, MSi

      Pengantar
      Membicarakan Islam tentu saja menjadi kurang sempurna jika tidak membicarakan dunia tasawuf. Hal ini tentu saja disebabkan oleh sejarah perkembangan Islam yang tidak bisa dilepaskan dari peran tasawuf di dalamnya.  Di dalam teks Islam yang sangat masyhur, bahwa selain terdapat pertanyaan tentang ma huwa al Iman, lalu ma huwa al Islam, juga terdapat pertanyaan ma huwa al ihsan.[3] Konsepsi al ihsan inilah yang kemudian dipahami sebagai pembicaraan tentang dunia tasawuf yang memang terkait dengan aspek esoteric agama ini.
      Secara historis-tekstual, bahwa ajaran tasawuf bisa dilacak keberadaannya sampai nabi Muhammad saw. Beliau adalah seorang Nabi yang memang mengajarkan kehidupan spiritual  dalam coraknya yang mendalam atau esoteric. Nabi Muhammad saw memang tidak hanya mengajarkan tentang berislam dalam coraknya yang formal-fungsional atau eksoterisme akan tetapi juga mengajarkan agama yang substansial-fungsional atau esoterisme.  Di dalam sejarah Islam kemudian dikenal ada dua sumber esoterisme di kalangan sahabat Nabi Muhammad saw, yaitu Abu bakar al Shiddiq dan Ali bin Abi Talib. Makanya, dari dua orang Sahabat Nabi Muhammad saw inilah semua ajaran tasawuf bermuara dan bersambung kepada Nabi Muhammad saw.[4]
      Dari kedua sahabat Nabi Muhammad saw tersebut maka lahirlah banyak macam tasawuf dan juga aliran tarekat. Dari kategorisasi umum kemudian dikenal ada tasawuf falsafi, tasawuf akhlaqi, tasawuf ‘amali. Ketiganya tentu memiliki substansi pembenaran sesuai dengan dasar pijakannya masing-masing. Akan tetapi yang jelas bahwa tasawuf memiliki dasar sesuai dengan konsepsi Islam yang orisinal.
      Di dalam perkembangannya, tasawuf yang merupakan warisan intelektual Islam tersebut kemudian menjadi ordo-ordo keagamaan yang bervariasi.  Tarekat yang bermacam-macam tersebut kenyataannya memiliki jalur spiritual kepada dua orang sahabat Nabi Muhammad saw, Abu Bakar al Shiddiq dan Ali ibn Abi Talib. Tarekat yang kemudian menjadi ordo-sufisme, tentu dapat dikaitkan dengan tasawuf  falsafi, tasawuf ‘amali dan tasawuf akhlaqi. Namun demikian, kecenderungan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa tasawuf  ‘amali jauh lebih dominan ketimbang lainnya.
      Tasawuf dan Tarekat
      Tasawuf memiliki peran yang sangat penting di dalam proses Islamisasi di dunia ini. Tidak terkecuali di Indonesia.  Di antara sekian banyak teori tentang islamisasi di Nusantara, maka Islamisasi melalui tasawuf menempati posisi yang paling strategis. Corak Islam di Nusantara yang mengedepankan Islam kultural, adalah sangat bercorak Islam tasawuf.[5]
      Tasawwuf adalah dimensi intelektual di dalam ajaran Islam yang merupakan ajaran esoterisme di dalamnya. Sedangkan tarekat adalah dimensi praktis di dalam ajaran tasawuf yang sudah memperoleh pelembagaan melalui persambungan sanad dari mata rantai guru tarekat dari masa ke masa. Sebagai ordo sufisme, tarekat telah mengalami perkembangan sangat menakjubkan dalam sejarah Islam dari masa ke masa.[6]
      Sebagai ajaran Islam esoteric, maka tentunya terdapat sejumlah nama yang sangat terkenal sebagai ahli tasawwuf, baik yang bersorak falsafi, akhlaki maupun’amali. Tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang di dalamnya terdapat corak pemahaman keagamaan yang esoteric berbasis pada “kemenyatuan” Tuhan dengan manusia  (wahdat al wujud)[7] atau di dalam konsep Jawa disebut manunggaling kawulo lan Gusti. Selain itu juga terkait dengan konsep hulul[8] dan ittihad.[9]Tasawuf falsafi sering dikaitkan dengan Ibn ‘Arabi, Abu Yazid al Busthami, Dzinnun al Misri, Abu Manshur al Hallaj, dan di Jawa Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang atau dikenal dengan Syekh Abdul Jalil.
      Tasawuf akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada penggunaan tasawuf sebagai instrument untuk melakukan kebaikan-kebaikan di dalam kehidupan dalam kaitannya dengan hablum minallah dan hablum minan nas. Di dalam tasawuf ini, maka yang dipentingkan adalah membangun perilaku yang berdasarkan atas akhlak mahmudah atau akhlak terpuji. Tasawuf akhlaki merupakan ajaran tasawuf yang mengajarkan tentang perilaku luhur atau akhlak al karimah. Untuk mencapai tujuan ini, maka seseorang harus melakukan mujahadahriyadhoh dan muraqabah. Di antara tokoh yang sangat menonjol di dalam hal ini adalah Hasan al Basri, Imam al Ghazali, Rabiah al Adawiyah dan sebagainya.
      Tasawuf ‘amali adalah ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada perilaku yang baik dalam kaitannya dengan amalan ibadah kepada Allah. Di dalamnya ditekankan tentang bagaimana melakukan hubungan dengan Allah melalui dzikir atau wirid yang terstruktur dengan harapan memperoleh ridla Allah swt. Tasawuf amali merupakan kelanjutan dari tasawuf akhlaki. Jika tasawuf akhlaki lebih banyak muatan teoretiknya, maka di dalam tasawuf ‘amali lebih banyak dimensi praksisnya. Tasawuf ‘amali merupakan tasawuf yang mengedepankan mujahadah, dengan menghapus sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dengan segenap esensi diri hanya kepada Allah SWT. Konsep syariahtariqah dan haqiqah atau tahallitakhalli dan tajalli adalah bagian dari konsepsi tasawuf ‘amali. Di antara tokohnya misalnya adalah penganut tarekat  Imam Syadzili, Imam Naqsyabandi, Imam al Jilani dan sebagainya.
      Di dalam perkembangannya, tasawuf akhlaki dan ‘amali  memperoleh lahan subur di dalam kehidupan masyarakat. Tasawuf falsafi hampir-hampir tidak memperoleh lahan yang subur di dalam perkembangannya disebabkan oleh stereotipe tentang tasawuf falsafi yang dianggap menyimpang. Di dalam sejarah perkembangan tasawuf, maka pemikiran tasawuf Al Hallaj dan Syekh Abdul Jalil dinyatakan menyimpang dari tradisi keberagamaan kaum Sunni di dunia Arab maupun di Nusantara. Di dalam berbagai literature digambarkan bagaimana penyimpangan keberagamaan yang dilakukan oleh Al Hallaj dan juga penyimpangan yang dilakukan oleh Syekh Abdul Jalil serta penyimpangan oleh Syekh Mutamakin.[10]
      Beberapa teks yang diproduksi oleh kaum Sunni tradisional menggambarkan tentang  konsep “Ana al Haq” sebagai penyimpangan luar biasa, sebab dianggapnya sebagai bentuk tindakan keagamaan yang syirik atau menyekutukan Tuhan. Bagi kaum syariat-tradisional, maka ucapan tersebut akan dapat membawa kepada kemusyrikan  sebab dianggapnya sebagai bentuk penyekutuan Tuhan. Ketika seseorang menyatakan “Aku adalah Tuhan” maka ketika itu pula yang bersangkutan sudah memasuki kawasan musyrik.
      Ana al Haq di dalam konsepsi tasawuf falsafi adalah proses di mana Tuhan masuk ke dalam “kedirian” manusia atau memasuki alam “nasut” atau proses di mana manusia terserap ke dalam “kedirian’ Tuhan atau memasuki alam “lahut”.  Sebagai akibat dzikir atau wirid yang dilakukan oleh manusia, maka manusia akan bisa memasuki alam “ketuhanan” dan juga sebaliknya  Tuhan memasuki alam “kemanusiaan”.  Hal itu terjadi ketika hijab antara  kesakralan Tuhan dengan keprofanan manusia terbuka, sehingga sudah tidak ada lagi jarak yang memisahkan keduanya.  Menyatu di dalam “kedirian” Tuhan atau menyatu di dalam “kedirian” manusia.
      Kiranya, tasawuf Falsafi, sebagaimana yang dikembangkan oleh para sufi, akhirnya semakin surut. Ditengarai bahwa perkembangan tasawuf falsafi hanya sampai pertengahan abad ke 17. Kira-kira pasca Kyai Mutamakin tidak ada lagi perkembangan menonjol mengenai tasawuf falsafi ini.[11] Di dalam perkembangan berikutnya, maka tasawuf menjadi orde sufisme yang mengambil bentuk tasawuf ‘amali, atau yang kemudian dikenal sebagai tarekat. Sebagai ordo sufisme, tarekat menjadi satu ajaran yang lebih mengedepankan diri sebagai perkumpulan orang yang mengamalkan ajaran agama dalam corak  esoterisme melalui bacaan wirid yang terstruktur.
      Sebagai orde sufisme, tarekat diajarkan dari guru ke murid melalui rangkaian sanad secara sambung menyambung sampai kepada Nabi Muhammad saw. Rangkaian sanad guru tarekat inilah yang menentukan apakah sebuah tarekat dinyatakanmu’tabar atau ghairu mu’tabar. Tarekat  dianggap absah apabila ketersambangan sanad gurunya bisa dilacak dan tidak diragukan keabsahannya.  Makanya, mata rantai ketersambungan sanad menjadi ukuran untuk menentukan kemu’tabaran tarekat.
      Untuk kepentingan tersebut, maka Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang terkait langsung dengan dunia tarekat lalu menyusun sebuah organisasi yang menjadi instrument untuk memahami dan mengukur kemu’tabaran sebuah tarekat yang disebutnya sebagai Jam’iyah Ahli Thoriqoh Mu’tabarah Nahdliyah (JATMAN), pada awal tahun 1970-an. Melalui organisasi ini, maka dibuatlah mana tarekat yang abash (mu’tabar) dan mana yang tidak absah (ghairu mu’tabar). Tarekat yangmu’tabar ditandai dengan ketersambungan sanad mursyidnya sampai kepada rasulullah, kemudian ajaran tarekatnya yang memiliki ketersambungan sampai rasulullah, dan pengamalan tarekat yang kontinyu dan istiqamah serta akhlak yang terpuji.[12]
      Tasawuf memang telah mengalami proses pelembagaan.  Di dalam hal ini, ialah melalui proses penyamaan keyakinan, ibadat, ritual, doktrin dan konsekuensi-konsekuensi  logis dari hal itu semua. Di dalam sistem keyakinan, misalnya adalah adanya kesamaan doktrin esoteric ajaran tarekat, yaitu implementasi konsep wahdat al wujud (penyatuan manusia dengan Tuhan) dan wahdat al sujud (penyatuan kesaksian terhadap Tuhan) kemudian kesatuan ritual melalui wirid-wirid yang  sebagai konsekuensi logis doktrin di atas, misalnya tradisi wiridan, tawajuhan (proses bimbingan guru pada murid), uzlah(menyendiri di tempat sunyi untuk berdzikir) dan juga mengembangkan al akhlak al mahmudah (perilaku terpuji).
      Lembaga ketarekatan memiliki perbedaan dengan lembaga-lembaga profan lainnya. Ada tiga hal yang membedakannya, yaitu: doctrinevirtue and spiritual alchemy. Doktrin keesaan Tuhan yang dapat menyatu dengan makhluk (manusia) pencarinya, spiritual alchemy (al ihsan) yaitu kemampuan manusia untuk melihat Tuhan seakan-akan Tuhan hadir pada dirinya dan spiritual alchemy yaitu konsentrasi secara mendalam terhadap apa yang dikonsentrasikan tersebut.  Jadi, di dalam diri manusia terdapat kemampuan atau potensi yang dapat ditransformasikan  ke dalam lainnya, sebagaimana kimia yang juga dapat dipindahkan ke logam lainnya.[13]
      Di dalam proses pelembagaan tasawuf tersebut kemudian dikenal nama-nama tarekat seperti Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Kubrawiyah, Naqsyabandiyah Khalidiyah, Syatariyah, dan sebagainya. Nama-nama tarekat ini dinisbahkan dengan masing-masing pemuka tarekatnya. Setiap tarekat juga mengembangkan konsep ritual yang berbeda-beda dan juga teknik dzikir yang berbeda. Namun demikian, semuanya bertujuan untuk memperoleh ridla Allah sehingga akan bisa berjumpa dengan-Nya. Hal itu tergambar dari doa yang dibacanya, Ilahi anta maqshudi, wa ridlaka mattlubi a’thini mahabbataka wa ridhaka.  Ya Allah Engkaulah yang aku maksudkan, dan ridhamu yang aku inginkan, berikan kami kecintaan-Mu dan ridla-Mu.
      Pergulatan Tasawuf dengan Kehidupan  Duniawi
      Untuk memahami pengaruh tasawuf bagi kehidupan duniawi yang profan, maka tentu ada beberapa bukti empiris yang dapat dijadikan sebagai rujukan. Di antara konsep yang bisa dipakai untuk menjelaskannya adalah tentang konsep moralitas tasawuf, pembangkangan kaum tarekat,[14] dan tasawuf perkotaan atau urban Sufism.
      Pertama, apakah tasawuf memiliki peran di dalam membangun peradaban  dunia?  Terhadap pertanyaan ini, maka bisa dijawab melalui tiga kenyataan empiris bahwa secara teologis dan ideologis bahwa tidak ada ajaran tarekat atau tasawuf yang tidak mengembangkan prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin. Prinsip ketauhidan di dalam ajaran tarekat adalah membangun prinisp ketauhidan dengan menekankan pada prinsip dzikir “tidak ada Tuhan Selain Allah”, Lailaha Illallah, baik dalam konteks dzikir nafi itsbat maupum dzikir lainnya. Melalui prinsip teologis dan ideologis yang berada di dalam konteks wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin tersebut,  maka kita berkeyakinan bahwa tasawuf akan bisa dijadikan sebagai instrument bagi pembangunan peradaban  dunia. Prinsip doktriner bahwa Islam adalah agama rahmat tentu akan mengajarkan tentang keselamatan, keharmonisan dan kerukunan. Melalui prinsip Islam rahmatan lil alamin yang diterjemahkan sebagai pengembangan prinsip kerukunan, keharmonisan dan keselamatan maka dapat dipastikan bahwa ajaran tasawuf akan dapat menjadi pilar penting bagi proses membangun peradaban dunia berbasis pada perdamaian.[15]
      Kedua, ajaran tasawuf memiliki nilai etika yang luar biasa di dalam kehidupan dunia.  Ajaran etika di dalam tarekat sesungguhnya memiliki kekuatan yang luar biasa sebagai pembentuk tindakan yang baik. Tasawuf sebagai prosestazkiyatun nafs tentu akan mengarahkan penganutnya pada  sidqul qalbi, sidqul qaul dan sidqul amal.  Melalui kejujuran hati,  maka akan didapati ketiadaan kebohongan hati baik kepada sesame manusia maupun kepada Allah. Melalui kejujuran perkataan maka apa yang diucapkan akan selalu disesuaikan dengan apa yang dialami dan dilakukan dan melalui kejujuran tindakan, maka juga akan didapati kesesuaian dengan apa yang dilakukan dengan kenyataan riil tindakannya tersebut. Melalui ajaran tasawuf, maka sesungguhnya akan didapati sebuah system mekanik di dalam kehidupan manusia yang  akan bisa menjadi pattern for behavior bagi kehidupannya.
      Melalui kajian yang dilakukan oleh Dahlan Tamrin menegaskan bahwa struktur politik memang sangat powerfull di dalam mempengaruhi perilaku kaum tarekat terutama di bidang politik, akan tetapi dari studi ini juga digambarkan bahwa masih banyak kaum tarekat yang menggunakan etika politik di dalam implementasi perilaku politiknya. Studi ini menggambarkan bahwa etika politik kaum tarekat ternyata terpilah menjadi tiga, yaitu: etika politik luhur, etika politik bawur dan etika politik ngawur. Di antara penganut tarekat yang menjadi politisi ternyata masih banyak yang jujur di dalam tindakan politiknya.[16]
      Di sisi lain, tarekat adalah sebagai medium bagi pendidikan karakter. Tidak ada ajaran yang sesolid tarekat di dalam mengajarkan pendidikan karakter. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Mihmidaty Ya’cub, bahwa penganut tarekat Syadziliyah di Pesantren Urwatul Wutsqo,  tarekat ternyata bisa menjadi medium pendidikan berbasis karakter. Para santri yang diajarkan tarekat Syadziliyah ternyata memiliki perilaku yang sesuai dengan ajaran tarekatnya tersebut. Melalui proses pembinaan secara terstruktur berbasis ajaran moralitas tarekat, maka para santri ternyata secara terus menerus dapat mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ajaran para guru tarekatnya. Bahkan para alumni yang telah dididik dengan pemahaman Islam ala tarekat Syadziliyah ternyata tetap mengamalkan ajaran tarekat tersebut dan berakhlak sesuai dengan ajaran tarekatnya.[17]
      Dari temuan empiris ini, bisa dibandingkan dengan dunia mahasiswa yang tidak disentuh dengan ajaran agama dalam perspektif esoterisme. Berdasarkan yang diceritakan oleh Rektor Universitas Satya Wacana beberapa saat yang lalu.  Suatu kesempatan bahwa ada pertemuan mahasiswa di Thailand. Sebagai peserta pertemuan ini,  maka ada mahasiswa Jepang, Korea, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia dan sebagainya.  Dari seluruh mahasiswa yang hadir maka diberikan session khusus untuk membicarakan perencanaan kegiatan khusus untuk mereka sendiri. Akhirnya diputuskan untuk melakukan kunjungan ke universitas. Yang menarik, bahwa mahasiswa Jepang meminta izin dan pamit kepada dosen-dosennya, akan tetapi tidak satupun mahasiswa Indonesia yang melakukannya.  Maka lalu memunculkan pertanyaan, siapa yang sesungguhnya lebih religious, apakah mahasiswa Indonesia ataukah mahasiswa Jepang.
      Kemudian juga sebuah peristiwa dalam upacara Gerakan Anti Korupsi yang dilakukan di Kantor Grahadi. Dari sebanyak 20 orang anak yang diminta untuk menyerahkan sticker Gerakan Anti Korupsi, maka hanya ada satu anak perempuan yang melakukan salaman dengan orang tua sambil mencium tangan orang tua-tua atau pejabat-pejabat itu. Maka ada suatu kenyataan membentang bahwa  ternyata yang melakukan tindakan bersalaman sambil mencium tangan yang lebih tua hanya sedikit.
      Di sisi lainnya, para santri tarekat juga bisa menjadi bagian dari kenyataan empiris bahwa pendidikan karakter ternyata penting. Jika kita berkunjung ke pesantren tarekat, maka akan didapati bagaimana para santri tarekat itu menghormat kepada yang lebih tua. Jika mereka duduk di pinggir jalan, maka ketika ada yang lebih tua lewat,  maka para santri berdiri untuk menghormat kepada yang lewat tersebut. Makanya di dunia pesantren tidak didapati demonstrasi, sebab mereka menyadari betul akan pentingnya keridlaan ilmu bagi mereka. Jika kyainya merestui ilmunya, maka mereka akan memperoleh manfaat akan ilmunya tersebut.
      Pendidikan  karakter hakikatnya adalah pendidikan hati. Dewasa ini banyak proses pembelajaran yang tidak menggunakan hati nurani. Pembelajaran lebih mengarah kepada pendidikan intelektual saja sehingga tidak sampai kepada pembentukan karakter manusia.
      Kemudian juga semakin banyaknya eksekutif muda yang mengamalkan tarekat secara non structural. Mereka mengamalkan tarekat yang dianggap televan dan cocok dengan kehidupannya.  Ketika mereka terkena macet di jalan, maka yang dilafalkan adalah Allahumma yassir wa la tu’assir. Jadi bukan melafalkan lagu-lagu pop atau dangdut,  akan tetapi membaca wirid yang diyakini bisa mengantarkannya kepada kemudahan. Bahkan banyak dijumpai mereka menghidupan video atau apapun yang berisi tentang wirid atau dzikir ketarekatan.
      Hal di atas memberikan gambaran tentang bagaimana tarekat telah memasuki kehidupan masyarakat, tidak saja kaum awam akan tetapi juga kaum elit bahkan para pengusaha muda. Jadi, tarekat telah menjadi fenomena yang khusus bagi masyarakat Indonesia dan sesungguhnya telah menjadi gerakan yang berjalan ke depan sesuai dengan karakter yang dimiliki oleh tarekat yang rahmatan lil alamin.
      Oleh karena itu, menurut saya bahwa melalui kenyataan teroretis dan empiris sebagaimana saya paparkan di atas, ternyata tasawuf bisa menjadi instrument bagi pengembangan peradaban dunia yang didasari oleh semangat keagamaan esoteric yang menjanjikan. Di dalam hal ini, maka tasawuf ‘amali bisa menjadi instrument bagi terbentuknya akhlak mahmudah sebagaimana yang dicita-cita oleh ajaran Islam, bahwa Islam memang diturunkan untuk membentuk akhlak mulia.
      Kesimpulan
      Tasawuf falsafi yang di masa lalu pernah memiliki akar kuat di kalangan penganut tasawuf akhirnya harus stagnan di tengah pemahaman agama yang lebih puristik. Melalui penyaringan yang dilakukan oleh kaum suni tradisional-puristik, maka tasawuf falsafi mengalami kesulitan berkiprah, sehingga   semakin menguatkan gerakan tasawuf-akhlaki maupun tasawuf ‘amali.
      Perubahan tersebut sangat kelihatan akhir-akhir ini, di mana semangat untuk pengorganisasian tasawuf ‘amali semakin kuat. Tarekat seperti Syadiziliyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah bahkan Gerakan Shalawat Wahidiyah semakin kuat mengarah kepada pemahaman ajaran Islam yang lebih puristik, sehingga ajaran tarekat yang banyak diambil adalah dimensi akhlaknya dan bukan pemikiran filosofiknya.
      Tarekat dengan demikian sesungguhnya dapat dijadikan sebagai instrument untuk membangun peradaban dunia melalui kontribusinya di dalam pendidikan karakter. Baik secara konseptual maupun praksis, tasawuf ‘amali atau tarekat mu’tabaroh telah menjalankan fungsinya sebagai penjaga moralitas masyarakat dan menjadi penyangga bagi perbaikan akhlak masyarakat. Dengan demikian, sesungguhnya tarekat memiliki kekuatan yang signifikan di dalam membangun manusia yang paripurna.




      [1] Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional  tentang “Tasawuf-Filosofis, Melacak Jejak Tasawuf di Indonesia.” Sabtu 6 Agustus 2011 di Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia.

      [2] Penulis adalah Sosiolog, menyelesaikan Strata satu pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, kemudian Strata dua dan tiga Ilmu Sosial di Universitas Airlangga. Kini menjabat sebagai Rektor IAIN Sunan Ampel dan Ketua Forum Pimpinan PTAIN Se Indonesia dan ketua Bidang Sosial Budaya Dewan Riset Daerah Propinsi Jawa Timur.

      [3] Di dalam hadits Nabi Muhammad saw,  yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dinyatakan  “ma huwa al ihsan, an ta’budallah kaannaka tarahu fa in lam tarahu fainnaka yaraka” yang artinya “apakah ihsan itu, ialah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau mengetahuinya dan jika engkau tidak mengetahuinya maka Allah mengetahuimu.

      [4] Seluruh tarekat yang diketahui sanad mursyidnya, maka selalu bermuara kepada dua orang sahabat Nabi Muhammad saw, yaitu tarekat yang dibangsakan kepada Sayyidina Ali dan Sayyidina Abu Bakar. Di antara tarekat yang dibangsakan kepada Sayyidina Ali adalah tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Tarekat Syadiziliyah, Tarekat

      [5] Periksa tulisan Uka Tjandrasasmita, “The Introduction of Islam and the Growth of Moslem Coastal Cities in the Indonesian Archipelago” dalam Haryati Subadiyo, Dinamics of Indonesian History (Amsterdam: Northolland Publishing Company, 1979), 151

      [6] Menurut  Zamakhsyari Dhofier, bahwa tarekat merupakan dimensi praksis dari dimensi intelektual tasawuf yang berarti jalan atau lebih lengkap jalan menuju surga. Periksa Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai¸(Jakarta: LP3ES, 1982), 140-141

      [7] Konsep wahdat al wujud dikaitkan dengan Ibn Arabi. Dalam pandangan wahdat al wujud, dinyatakan bahwa Tuhan dan manusia dapat menyatu di dalam dzat. Di dalam hal ini, bahwa dzat Tuhan dapat bersemayam di dalam diri manusia, yaitu ketika Tuhan masuk ke dalam diri manusia. Di dalam konsepsi ini, maka hakikat manusia dan Tuhan adalah dua entitas yang memiliki kesamaan, sehingga keduanya dapat menyatu karena usaha-usaha manusia.

      [8] Konsep hulul adalah dikaitkan dengan al Hallaj. Konsep ini menggambarkan bahwa terdapat penyatuan antara Tuhan dengan manusia atau antara manusia dengan Tuhan. Tuhan memiliki sifat-sifat kemanusiaan dan manusia juga memiliki sifat-sifat ketuhanan. Sebagaimana ungkapan al Hallaj  “ana al haq”. Tuhan dapat memasuki alam manusia melalui sifat nasut dan manusia juga dapat memasuki alam ketuhanan melalui sifat lahut. Ketika al Hallaj menyatakan ana  al haq, maka yang terjadi adalah Tuhan terserap ke dalam dirinya.

      [9] Di dalam konsepsi tasawuf, Ittihad adalah konsep yang dikembangkan oleh Abu Yazid al Bustami. Konsep ini menyatakan bahwa Tuhan dan manusia dapat menyatu di dalam diri manusia. Manusia hakikatnya adalah pancaran Tuhan, sehingga terdapat kenyataan bahwa antara Tuhan dan manusia dapat menyatu. Eksistensi manusia dengan Tuhan dapat menyatu di dalam diri.

      [10] Zainul  Milal Bizawi telah menepis ketidaktepatan untuk menyatakan bahwa Syekh Mutamakin sebagai ajaran yang menyimpang sebab ajaran agama yang dikembangkannya tetap berada di dalam koridor Islam Sunni. Hanya saja memang ajaran beliau bercorak tasawuf. Periksa Zainul  Milal Bizawi, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al Mutamakin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645-1740) (Jakarta: Keris dan Samha, 2002).  Tulisan lain yang juga membela terhadap agama rakyat ini adalah tulisan Agus Sunyoto. Meskipun dikemas dalam sejarah-imajinatif, akan tetapi sangat tegas pemihakannya terhadap kebenaran ajaran Syekh Abdul Jalil atau Syekh Siti Jenar. Ada sebanyak  tujuh  jilid karya Agus Sunyoto yang bercerita tentang keberagamaan Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar. Baca, Agus Sunyoto, Suluk Syekh Abdul Jalil, (Yogyakarta: LKIS, 2009).

      [11] Zainul Milal Bizawi mencatat bahwa Kyai Mutamakin memang seorang penganut sunni, akan tetapi ketertarikannya dan praktik keagamaan yang bercorak tasawuf falsafi sangat kentara. Periksa Zainul Milal Bizawi, Perlawanan Kultural ….,hlm. 142-144

      [12] Menurut Syafi’i Ahsan, mengutip kitab Jami’u Ushul al Auliya, bahwa terdapat sebanyak 42 tarekat yang dinyatakanmu’tabar, yaitu: tarekat al-Naqsyabandiyah,al- Qaidiriyah, al- Syadziliyah,  al-Rifa’iyah, al-Ahmadiyah, al-Dasuqiyah, al-Akbariyah, al-Maulawiyah, al-Kubrawiyah, al-Suhrawardiyah, al-Khalwatiyah, al-Jalwatiyah, al-Kadasyiyah, al-Ghazaliyah, al-Rumiyah, al Sa’diyah, al Justiniyah, al Sya’baniyah, al-Kalsaniyah, al-Hamzawiyah, al Biramiyah, al Usysyaqiyah, al-Umariyah, al ustmaniyah, al Alawiyah, al Abbasiyah, al Zainabiyah, al Isawiyah, al Maghrabiyah, al Bukhuriyah, al Haqdadiyah, al Ghaibiyah, al Khodiriyah, al Syathoriyah, al Bayumiyah, al Malamiyah, al-Idrusiyah, al-Sunbuliyah, al-Uwaisiyah, al-Idriyah, Akabirul Auliya”. Periksa  Muhammad Syafi’I Ahsan, “Tharoqah Mana yang Paling Benar” dalam Majalah Aula, No. 7, tahun XII, Juli-Agustus, 1990, 77-78.

      [13] Titus H. Buckhardt’s, An Introduction to Sufi Doctrin (Lahore: Asraff Press, 1973), 99-110

      [14] Sartono Kartodirdjo, Gerakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985. Periksa juga Sartono Kartodirdjo, “Agrarian Radicalism: It’s Setting and Development” dalam Claire Holt, Culture and Politics in Indonesia (Ithaca: California University Press, 1977). Periksa juga Nur Syam, Pembangkangan Kaum Tarekat (Surabaya: LEPKISS, 2004).

      [15] Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia (Yogyakarta: Impuls, 2009),

      [16] Periksa Dahlan Tamrin, “Studi Konstruksi Sosial Etika Politik Penganut Tarekat Malang Raya” , Disertasi IAIN Sunan Ampel, tidak diterbitkan, 2009.

      [17] Periksa, Muhmidaty Ya’cub, “Pendidikan Tasawuf dan Aplikasinya Dalam Perilaku Keagamaan (Studi Pada Tariqah Shadhiliyah di Pondok Pesantren al-Urwatul Wutsqo Bulurejo, Diwek, Jombang)”. Disertasi IAIN Sunan Ampel tidak diterbitkan, 2011

      Senin, 16 Juli 2012

      Pondok Pesantren Salafiyah Kajen Margoyoso Pati








      Logo/Lambang Madrasah Salafiyah


       Pondok  Pesantren Salafiyah Kajen. 
      Pengasuh :( KH. Siraj  Ishaq dan KH Baidlowie Siraj, K H Faqihudin Baidlowi, K H Ali Ajib Baidlowi, )  
      KH. Asmui Hasan, KH Ubaidillah Wahab.  Alamat : Kajen  Margoyoso Pati. Phon : 0295-4150037 Fax:0294-4150409  Email :  salafi_ma@yahoo.com
      Website:



      Dewan Guru Madrasah Salafiyah
      Menerima:Putra-Putri

      Deskripsi:

      Pada sekitar tahun 1900 bentuk pesantren di Kajen mulai berbentuk klasikal atau dapat dikata mulai tertata rapi meski belum berwujud madrasah/sekolah. Adalah KH. Nawawi putra KH. Abdullah yang memprakarsai berdirinya Pondok Kulon Banon yang dikemudian hari bernama Taman Pendidikan Islam Indonesia (TPII). Selang dua tahun di susul oleh KH. Siroj, putra KH. Ishaq juga mendirikan Pondok Wetan Banon yang dikemudia hari bernama Salafiyah. Penamaan Kulon dan Wetan Banon ini disandarkan pada letak posisinya dari makam Kanjengan, makan dekat pesarean Syekh Mutamakkin yang diyakini makam para ningrat Pati. Keberadaan makam itu yang dikelilingi tembok besar (Banon) menjadikan kompas bagi masyrakat Kajen untuk menyebut pesantren yang berdiri hampir bersamaan itu. Baru sekitar delapan tahun (1910), KH. Abdussalam (Mbah Salam), saudara KH. Nawawi mendirikan pondok di bagian paling Ujung Barat desa Kajen, dan dinamakan Pondok Pesantren Polgarut yang dikemudian hari bermama Pondok Pesantren Maslakul Huda Polgarut Utara (PMH Putra). Ketiga pesantren di atas boleh dikata awal kebangkitan pesantren di Kajen yang kemudian baru muncul pesantren-pesantren kecil lain yang jika ditelusuri tidak terlepas dari ikatan keluarga dengan ketiga bani tersebut. Bahkan masyarakat meyakini bahwa ketiga ulama tersebutlah yang kemudian menjadi panutan di desa Kajen. Pradjarta Dirdjosanjoto pernah melakukan penelitian tentang perkembangan Islam di sekitar wilayah Tayu, menganggap bahwa keturunan ketiga bani (Bani Siroj, Bani Nawawi dan Bani Salam) tersebut yang kini mempunyai pengaruh besar di desa Kajen. Embrio Pondok Kajen Wetan Banon yang berdiri tahun 1902 merupakan bentuk kepedulian KH. Siroj untuk meneruskan perjuangan Syekh Mutamakkin dalam menegakkan kebenaran agama Allah. Pada masanya, karena beliau sebelumnya seorang saudagar kaya raya, maka tak mudah untuk mendirikan beberapa pondokan dan satu musholla. Musholla di depan rumahnya merupakan tempat pada mana orang menimba ilmu dari beliau. Tempatnya yang pinggir jalan persis membuat orang mudah mengenalnya. Disertai dengan bangunan besar dari kayu di seberang jalan, KH. Siroj memulai pengajian-pengajian tentang keagamaan dan kemasyarakatan. Dengan kelebihannya yang mendapatkan ilmu ladunni, para santrinya pun semakin hari semakin bertambah. Inilah awal yang baik bagi Yayasan Salafiyah yang disertai dengan keikhlasan dan kebersahajaan pendirinya. Semoga benih yang telah ditanam KH. Siroj ini betul-betul dirawat oleh keturunannya secara benar dan amanah. Kemajuan Pesantren Wetan Banon yang cukup pesat tidak dapat dipisahkan dari kepribadian KH. Siroj yang merupakan ulama dan ilmuwan ternama. Para murid senior yang juga keluarga dekatnya, mendapat kesempatan untuk membantu mengelola pesantren dan mempunyai andil dalam kemajuan pesantren. Para santri tertarik dengan sistem pengajaran yang diberikan olehnya. Dapat dilihat muridnya seperti KH. Bisri Syamsuri yang menjadi ulama besar di Denanyar Jombang, atau KH. Hambali yang menjadi tokoh terkemuka di Waturoyo. Pondok Wetan Banon ini dipegang oleh KH. Siroj selama 26 tahun dalam kondisi ketegangan politik oleh kolonial Belanda. Sepeninggalan KH. Siroj pada tahun 1928, Pondok Wetan Banon ini diasuh oleh putranya, KH. Baedlowie dan KH.Hambali. Tepatnya pada tanggal 1 Januari 1935 barulah duet kepemimpinan ini membuka Madrasah yang dinamakan Madrasah Salafiyah. Madrasah ini dibangun tiga tahun setelah Madrasah Matholiul Falah yang dirikan oleh KH. Thohir, KH Durri, KH. Mahfudz dan KH. Abdullah Salam dari Kajen Kulon Banon dan Pol garut. Madrasah Salafiyah dibangun di samping rumah dan pondok Wetan Banon bagian timur yang kebetulan KH. Siroj memberikan tanah itu untuk dikelola oleh KH Baedlowie. Saat Salafiyah dipegang oleh sosok kharismatik KH Hambali dan KH Baedlowi, Madrasah sebagai pelengkap dari pengajaran agama di pesantren tersebut tampak pola-pola pengelolaannya yang masih digarap secara individual. Penamaan Salafiyah ini akhirnya lebih kentara dan dikenal oleh khalayak ramai untuk pesantrennya juga. Makanya masyrakat kemudian menyebut Madrasah Salafiyah tidak lepas dari Pondoknya, yaitu Pondok Wetan Banon yang kemudian entah mulai kapan berganti dengan Pondok Salafiyah. Hanya sekitar enam tahun madrasah ini melakukan aktifitasnya, namun sejak masa pendudukan fasis militer Jepang (1942) madrasah ditutup sementara. Kajen menjadi tempat yang diawasi secara ketat. Beberapa pengelola Madrasah Salafiyah ikut terjun ke kancah politik perjuangan, seperti ke Hisbullah atau menangani keagamaan di Pemerintah (sekarang DEPAG). Peristiwa ini mengakibatkan banyak warga pria Kajen meninggalkan desanya untuk mencari suaka, dan ikut terjun memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tak ketinggalan KH. Hambali. KH. Hambali pergi ke rumah mertuanya di Bareng Jekulo Kudus. Dan disana pada tahun 1955, KH. Hambali juga membuka madrasah dan pesantren baru yang juga dinamakan Salafiyah. Setelah situasi tanah air mengijinkan pada tahun 1945 madrasah Salafiyah Kajen dibuka kembali, di bawah asuhan KH Baedlowie dengan dibantu H. Hamzawie dan angkatan mudanya. Pada tahun 1948 berkat ketekunan dari pengelola madrasah Salafiyah sudah mendapat pengakuan dari pemerintah. Bahkan pada tahun 1950, Salafiyah mendapatkan subsidi pemerintah yang berupa tenaga pengajar dan alat-alat sekolah. Pada masa ini gedung Madrasah Salafiyah baru tiga lokal di samping barat kediaman KH. Baedlowie dan beberapa lokal di depan rumahnya. Kemampuan KH. Baedlowie mengajak angkatan muda dan santri-santrinya yang dianggap mumpuni untuk ikut bergabung cukup memadai sampai metode klasikal dan tradisi diskusi/musyawarah diterapkan. Para santri begitu tekun dan merasa cocok dengan metode seperti ini. Sehingga semakin banyak siswa yang belajar di madrasah Salafiyah. Dalam hal pelaksanaannya, KH. Baedlowie menyerahkan pengelolaan Madrasah Salafiyah kepada KH Muzayyin Hadi. Dengan kemampuan KH. Muzayyin Hadi ini tampak adanya bentuk kerangka keorganisasian yang bagus. Atas perkembangan yang baik ini pada tahun 1956 dibukalah kelas tingkat Tsanawiyah tiga tahun, dan pada tahun 1958 madrasah Salafiyah mendapat PIAGAM (Pengakuan wajib belajar) dari pemerintah/Departemen Agama Republik Indonesia). Pada sekitar tahun 1960, atas usulan para generasi mudanya, pesantren ini dinamakan Taman Pendidikan Tamrinul Huda (TPTH), namun tak begitu lama atas kesepakatan keluarga namanya dirubah kembali ke semula, yaitu Pesantren Salafiyah. Perubahan nama itu tidak mempengaruhi proses pertumbuhan madrasahnya. KH. Muzayyin Hadi tetap berkiprah sampai ia non-aktif. Dan kepengurusan dipegang oleh keponakan KH. Baedlowi yang telah menjadi sarjana muda yaitu H. Hadziq Siroj, BA, putra KH. Abdul Kohar. Ia melakukan pembenahan sistem keorganasiasian, tata kerja, administrasi dan mata pelajaran. Pada tahun 1968, Madrasah Salafiyah mampu mendirikan tingkat Aliyah tiga tahun dan tiga tahun kemudian yaitu tahun 1971 tingkat muallimat enam tahun di buka untuk perempuan yang ingin sekolah di madrasah Salafiyah. Pada kepengurusan Hadziq Siroj, keorganisasian Pelajar salafiyah mulai dibentuk dengan nama Persatuan Pelajar Salafiyah (PPS). Namun pada tahun 1973, kesibukan Hadziq Siroj di badan legislatif Daerah Pati meningkat, hingga kepengurusan pun diserahkan kepada Muwaffaq Noor. Perubahan ke arah perbaikan itu semakin tampak jelas saat kepemimpinannya dipegang Muawwaq Noor, menantu KH. Abdul Wahab (1973-1979). Pada kepengurusannya Madrasah Salafiyah menerima surat akte Pengesahan Perguruan Agama Islam dari pemerintah  pada tahun 1975 nomor : K/127/III/75. Organisasi Siswa yang bernama PPS (Persatuan Pelajar Salafiyah) kemudian seiring perkembangan diubah menjadi KPS-KPPS (Keluarga Pelajar Salafiyah-Keluarga Pelajar Putri Salafiyah). Wadah ini merupakan alternatif yang apik bagi siswa-siswi yang mau mengembangkan kreatifitasnya. Menyadari hal itu Muwaffaq Noor dengan dibantu Mas’udi mengadakan penataran leadership selama sepekan pada setiap kepengurusan. Hasilnya sungguh luar biaa, bursa-bursa calon ramai dengan kampanye sepekan sebelum pemilihan. Hal itu menunjukkan sifat kompetitif di antara siswa. Pada era ini pula, tampak pelebaran sayap ke berbagai kegiatan dan drama. Antara lain pertukaran pelajar, pengembangan bahasa Arab dan bahasa Inggris, serta daya apresiasi seni yang mengantarkan Salafiyah ke kancah PORSENI se-eks Karisedanan Pati. Namun kekhasan di madrasah ini yang juga kekhasan madrasah di Kajen adalah adanya testing Baca Kitab ketika akan menyelesaikan studinya. Kitab yang ditestingkan adalah Fiqh tahrir dan Hadis Bulughul Marom. Tak ketinggalan tingkat tsanawinya. Mengenai pelaksanaan pengajian di pesantrennya, tetap berjalan seperti biasa dengan metode bandongan, sorogan yang dipandang masih efektif. Karena kondisi KH. Baedlowie sakit parah, maka pengelolaannya pesantren dilakukan oleh KH. Faqihuddin, putra KH. Baedlowie. Dengan dibantu oleh saudara-saudaranya dan santri senior, santri yang berdatangan juga semakin meningkat. Hingga harus membangun gedung di depan rumah KH. Faqihuddin untuk menambah daya tampung santri. Proses pengajaran di pesantren pada saat ini dipandang berjalan seiring dan saling melengkapi dengan kurikulum yang diajarkan di madrasah. Berbeda dengan tahap-tahap metamorfosis sebelumnya, ketika kepemimpinan madrasah kembali ke tangan H. Hadziq Siroj (1980-1997), peningkatan mutu dan sistem yang ditampilkan sungguh mencolok. Sekitar tahun 1982 dibentuk tim drumband yang di kemudian hari mengharumkan Salafiyah. Mulai saat itu pula sistem pendidikan di Salafiyah terkait dengan sistem pendidikan pemerintah. Sebagai manifestasinya adalah dengan adanya persamaan ujian dan pengambilan jurusan. Dalam hal pengambilan jurusan, Salafiyah mengalami lika-liku dan proses yang panjang. Pertama kali Salafiyah mengikuti persamaan ujian tahu 80-an dan mengambil jurusan IPS. Semula induknya di Boyolali, Solo namun kemudian dialihkan Kanwil (DEPAG) ke Semarang. Pada era 80-an ini Madrasah Salafiyah dapat dikatakan masa bangkitya. Madrasah Salafiyah mempunyai siswa yang boleh dikata kuantitasnya dan kualitasnya terbaik di data statistik Semarang. Meski pada tahun 1980 kondisi KH. Baedlowie sedang sakit parah, tidak menghalangi perjuangan beliau untuk berjuang lewat jalur pendidikan. Dalam kondisi terbaring, KH. Baedlowie menganjurkan untuk memperluas spektrum ruang gerak Salafiyah. Pada tanggal 2 Pebruari 1981, lembaga tersebut dijadikan Yayasan yang diberi nama Yayasan Assalafiyah kedudukan tetap berpusat di desa Kajen Margoyoso Pati. Namun di tengah alur yang semakin membaik ini, datanglah sebuah berita duka pada subuh hari Jum’at Pahing tanggal 3 Ramadhan 1402/25 Juni 1982 tentang wafatnya KH Baedlowi. Untuk pertama kalinya, Yayasan ini diketuai oleh KH. Faqihuddin yang juga menjadi pengasuh Pesantren Salafiyah. Untuk sekertarisnya dipegang saudara sepupunya, K. Masruhin dengan dibantu oleh saudara-saudara yang lain baik dari keturunan KH. Abdul Kohar, KH. Baidlowie maupun Nyai. Hj. Fathimah. Masa kepngurusannya hingga kini belum juga diadakan restrukturisasi meskipun ada beberapa personil yang sudah meninggal dunia. Pada era ini, Madrasah Salafiyah tetap melaju pesat. Penambahan-penambahan gedung tak dapat dielakkan lagi. Ada 18 Lokal untuk proses belajar mengajar. Untuk pelajar putra masuk pagi sedangkan pelajar putri masuk siang. Namun, pada era ini pihak pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mengenai jurusan untul Madrasah tingkat Aliyah. Dengan beberapa konsideran dan pertimbangan yang matang oleh para dewan guru, Madrasah Salafiyah mengganti jurusan IPS menjadi jurusan Agama. Pergantian ini terjadi pada tahun 1987. Siswa pada masa ini sudah mencapai 2000 orang dan kebanyakan berasal dari daerah Pati dan selebihnya dari kabupaten tetangga. Namun setelah delapan periode berlangsung, kebijakan pemerintah pusat menghapus jurusan agama jikalau tidak memenuhi syarat. Jurusan agama atau yang dsiebut MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) hanya dilanjutkan jika memenuhi dua syarat, yaitu siswa-siswinya harus diasramakan dan harus ada tutor, tiap sepuluh anak memiliki satu tutor. Menimbang dua syarat tersebut tidak bisa dipenuhi maka Salafiyah memutuskan untuk membubarkan jurusan Agama dan mulai tahun 1994/1995 untuk kelas satu menjadi MAN (Madrasah Aliyah Negeri) dengan pilihan jurusan Sosial. Dan setahun kemudian dicoba membuka satu kelas MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan), namun baru berjalan setahun ternyata kurang mampu untuk mengimbangi kurikulum yang ada. Hingga akhirnya dileburkan kembali dalam jurusan Sosial. Pilihan ini tetap berjalan sampai sekarang (2001). Seputar penghapusan jurusan agama dan peralihannya ke jurusan IPS sebenarnya menjadi perbincangan sendiri. Para pengajar dan pengurus Yayasan Assalafiyah memberikan respons yang berbeda. Seperti pendapat Sholihul Hadi, Wali Aliyah, yang mengatakan bahwa peralihan jurusan tersebut akan mendatakan kesulitan baru bagi Salafuyah yakni kesulitan mendapatkan tenaga guru untuk jurusan IPS. Hal senada juga dikemukakan oleh HA, Soleh Ibrahim. Menurutnya, posisi Salafiyah saat ini cenderung menurun untuk bertindak dan bergerak yang lebih hati-hati. Karena diakuinya bahwa menciptakan bentuk pertimbangan antara ilmu agama dan ilmu dunia sangatlah rumit. Namun secara optimis, KH Ali Ajib Baedlowi mengatakan bahwa peralihan jurusan agama ke jurusan IPS tidak perlu dirisaukan karena Salafiyah mendapat peluang besar dalam mencapai idealismenya untuk menelorkan generasi paripurna akseleratif pada tuntutan eranya, mampu menjadikan seniman strategi yang layak tampil di masyarakat. Di astu sisi, generasi paripurna tersebut berperan sebagai cerdik cendekia yang ikut ambil bagian dalam penggarapan sains dan tehnologi dunia, memegang kendali laju IPTEK dan di sisi lain (sekaligus) sebagai ulama-ulama religius yang turut serta memberi corak keagamaan dalam dunia IPTEK, menanamkan unsur-unsur religi ke alam berbagai bidang tehnologi dan menjadi sosok pengayom masyarakat sehingga lengkaplah mereka berperan sebagai Khalifah fil ardhi. Menanggapi hal itu, KH. Muhibbi mengemukakan beberapa hal yang diperlukan agar tercipta siswa-siswi yang sesuai dengan krteria KH Ali Ajib, yaitu kegetolah guru dalam menyampaikan materi, kesadaran dan kesungguhan siswa menerima materi dan kecintaan siswa terhadap materi .

      KAMALUDDINDONESIA WEOENGEPEATEI 


      Sabtu, 14 Juli 2012

      KH. Muntaha Al-Hafizh, Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat

      Sekapur sirih Tentang Mbah Mun


      KH Muntaha al-Hafiz bin Asy`ari bin `Abdul Rahim bin Muntaha bin Muhammad adalah pengasuh dan penerus Pondok Pesantren Tahfidzul Quran al-Asy`ariyyah. Beliau dilahirkan pada 9 Julai 1912 di desa Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Beliau memulakan pengajian formal agamanya di Darul Maarif, Banjarnegara di bawah asuhan Syaikh Muhammad Fadhlullah as-Suhaimi yang masih terhitung kerabatnya. Setelah tamat di Darul Maarif, beliau meneruskan mondok di Pesantren Tahfidzul Quran Kaliwungu, Kendal di bawah asuhan K.H. Utsman sehingga berhasil menghafal al-Quran ketika berusia 16 tahun. Setelah itu, beliau mendalami ilmu qiraah di Pesantren Krapyak dengan Kiyai Munawwir. Ilmu hadits, fiqh dan tafsir didalaminya di Pesantren Termas, Pacitan di bawah asuhan Kiyai Dimyathi.
      Dalam perjuangan mendapatkan kemerdekaan negara Indonesia, KH Muntaha tidak ketinggalan berjuang menjadi komandan BMT (Barisan Muslimin Temanggung) yang bertempur dengan penjajah Belanda di Palangan Ambarawa. Kiyai Muntaha juga terkenal sebagai seorang ulama multidimensi yang mempunyai berbagai idea yang cemerlang. Dalam dunia pendidikan KH Muntaha al-Hafiz merupakan teladan karena keberhasilannya mengembangkan pendidikan di bawah naungan Yayasan al-Asy'ariyyah. Yayasan tersebut saat ini menaungi berbagai tangga pendidikan, antara lain, Taman Kanak-kanak (TK) Hj. Maryam, Madrasah Diniyah Wustho, Madrasah Diniyah `Ulya, Sekolah Madrasah Salafiyah al-Asy'ariyyah, Tahfidzul Qur'an, SMP Takhasus Al-Quran, SMU Takhasus al-Quran, SMK Takhasus al-Quran, Universitas Sains al-Quran (UNSIQ), khusus untuk Perguruan Tinggi UNSIQ ini di bawah naungan Yayasan Pendidikan Ilmu-Ilmu al-Quran (YPIIQ). Selain mengatur soal pendidikan, beliau turut aktif menjalankan dakwah bahkan beliaulah yang membentuk Korps Dakwah Santri (KODASA). Korps ini merupakan wadah bagi aktiviti santri Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah dalam menyiarkan Islam, baik yang diperuntukkan bagi kalangan santri (sesama santri) dalam rangka meningkatkan kualiti diri, maupun kepada masyarakat banyak.



      Dalam perjuangan memasyarakatkan al-Quran, KH Muntaha telah mendirikan Yayasan Himpunan Penghafal al-Quran sebagai wadah untuk menghimpunkan para hafiz dan hafizah. Kepada murid-muridnya, beliau anjurkan agar mengkhatam al-Quran seminggu sekali. Selain menghafal al-Quran, beliau turut mengarang sebuah tafsir al-Quran diberi jodol "Tafsir al-Munthaha".

      KH. Muntaha Al-Hafizh 
      Kecintaan Allahuyarham Mbah Muntaha sapaan akrab KH. Muntaha Al-Hafizh Kalibebeber Wonosobo terhadap Al-Qur’an tak dapat diragukan lagi. Hampir seluruh usianya dihabiskan untuk menyebarkan dan menghidupkan Al-Qur’an.
      Yang Paling monumental adalah gagasannya membuat mushaf Al-Qur’an Akbar (Al-Qur’an Raksasa) dengan tinggi 2 meter, lebar 3 meter dan berat 1 kuintal lebih. Sebuah karya maha agung yang sempat dikala itu diusulkan masuk ke Guiness Book Of Record.
      KH Muntaha al-Hafizh lahir di desa Kalibeber kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo dan wafat di RSU Tlogorejo Semarang, Rabu 29 Desember 2004 dalam usia 94 tahun. Ada beberapa keterangan berbeda tentang kapan tepatnya Mbah Muntaha Lahir.
      Pertama, ada yang mengatakan Kiai Muntaha lahir pada tahun 1908. Kedua, ada pula yang menyatakan bahwa Kiai Muntaha lahir pada tahun 1912. Hal ini didasarkan pada dokumentasi pada KTP / Paspor dan surat-surat keterangan lainnya, Mbah Muntaha lahir pada tanggal 9 Juli 1912.
       Kiai Muntaha adalah putra ketiga dari pasangan KH. Asy’ari dan Ny. Safinah. Sebelum Kiai Muntaha,  telah lahir dua kakaknya, yakni Mustaqim dan Murtadho.
      Sejak kecil hingga dewasa, Kiai Muntaha menimba banyak ilmu dari sejumlah Kiai Pesantren. Sebelum itu, Kiai Muntaha mendapat didikan langsung dari kedua orang tuanya, KH. Asy’ari dan Ny. Safinah.
      Lahir dalam keluarga Pesantren, Kiai Muntaha banyak memperoleh didikan berharga dari Ayah dan Ibundanya seperti membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman.   Kedua orang tuanya memang dikenal sangat telaten dan sabar dalam mendidikan putra-putrinya.
      Selanjutnya dari Kalibeber, Kiai Muntaha memulai perjalanan menuntut ilmunya ke berbagai Pesantren di tanah air. Kiai Muntaha sebagaimana umunya santri dizaman itu berkenala untuk mencari ilmu dari Pesantren ke Pesantren berikutnya.
      Ada satu hal sangat menarik berkaitdan dengan proses pencarian ilmu Kiai Muntaha saat masih muda. Ketika Kiai Muntaha berangkat menuntut ilmu ke, Pesantren Kaliwungu,Pesantren Krapyak, dan Pesantren Termas, ia selalu menempuh perjalanan dengan cara berjalan kaki. Melakukan riyadhah demi mencari ilmu semacam itu dilakukan Kiai Muntaha dengan niatan ikhlas demi memperoleh keberkahan ilmu.
      Di setiap melakukan perjalanan menuju Pesantren, Kiai Mutaha selalu memanfaatkan waktu sambil mengkhatamkan Al-Qur’an saat beristirahat untuk melepas lelah. Kisah ini menunjukkan kemauan keras dan motivasi spiritual yang tinggi yang dimiliki Kiai Muntaha dalam mencari ilmu.
      Setelah berkenalan dari berbagai Pesantren, Kiai Muntaha kembali ke Kalibeber pada tahun 1950. Ia kemudian meneruskan kepemimpinan ayahnya dalam mengembangkan Al- Asy’ariyyah di desa kelahirannya, Kalibeber, Wonosobo.Di bawah kepemimpinan Mbah Muntaha inilah, Al-Asy’ariyyah berkembang pesat. Berbagai kemajuan signifikan terjadi masa ini.
      Dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, KH. Muntaha adalah pribadi yang bersahaja. Mbah Muntaha sangat sayang kepada keluarga, santri dan juga para tetangga, serta masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
      Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat
      Kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an sebenarnya berawal dari kecintaan ayahandanya , Kiai Asy’ari terhadap Al-Qur’an. Dalam usia relatif muda yakni 16 tahun, Kiai Muntaha telah menjadi hafizh Al-Qur’an.
      Hampir seluruh hidup Mbah Muntaha didedikasikan untuk mengamalkan dan mengajarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada para santrinya dan juga pada masyarakat umumnya.
       Dalam kesehariannya Mbah Muntaha selalu mengajar para santri yang menghafalkan Al-Qur’an. Para santri selalu tertib dan teratur satu per satu memberikan setoran hafalan kepada Kiai Muntaha. Mbah Muntaha selalu berjuang untuk menanamkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada santri-santrinya.
      Sepanjang hidup Mbah Muntaha, Al Qur’an senantiasa menjadi pegangan utama dalam mengambil  berbagai keputusan, sekaligus menjadi media bermunajat kepada Allah Swt. Mbah Muntaha tidak pernah mengisi waktu luang kecuali dengan Al-Qur’an.
      Sering Kiai Muntaha mebaca wirid atau membaca ulang hafalan Al-Qur’an di pagi hari seraya berjemur. Menurutnya, wirid dan dzikir yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an. Itulah sebabnya, Kiai Muntaha menasehati para santri untuk mengkhatamkan Al-Qur’an paling tidak seminggu sekali.
      Kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an juga diwujudkan melalui pengkajian tafsir Al-Qur’an, dengan menulis tafsir maudhu’i atau tafsir tematik yang dikerjakan oleh sebuah tima yang diberi nama Tima Sembilan yang terdiri dari sembilan orang ustadz di Pesantren Al-Asy’ariyyah dan para dosen di Institut Ilmu Al-Qur’an (sekarang UNSIQ) Wonosobo. Gagasan Kiai Muntaha tentang penulisan tafsir ini mengandurng maksud untuk menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada masyarakat luas.
      Dan puncak realisasi kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an ditunjukkan dengan perealisasian idenya tentang penulisan Al-Qur’an dalam ukuran raksasa yang sering disebut dengan Al-Qur’an akbar utuh 30 juz.
      Al-Qur’an akbar itu ditulis oleh dua santri Al-Asy’ariyyah yang juga mahasiswa IIQ yaitu H. Hayatuddin dari Grobogan dan H. Abdul Malik dari Yogyakarta.  Ketika penulisan Al-Qur’an akbar yang kertasnya merupakan bantuan dari Menteri Penerangan (H. Harmoko di kala itu) itu selesai, Al-Qur’an itu pun diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia di istana negara.
      Mungkin Kiai Muntaha melihat banyak orang Islam telah meninggalkan Al-Qur’an, atau bahkan sama sekali tidak mau membaca Al-Qur’an, sehingga Mbah Muntaha tidak henti-hentinya menasehati anggota Hufadz wa Dirasatal Qur’an (YJHQ) untuk terus memasyarakatkan Al-Qur’an. Dakwah serupa juga selalu Mbah Muntaha sampaikan saat Beliau berkunjung ke berbagai belahan dunia seperti Turki, Yordania, Mesir dan lain sebagainya.
      Dari hal-hal yang sudah disebutkan, menjadi jelas bahwa sosok dan pribadi Kiai Muntaha al-Hafidz adalah sosok sosok yang sangat mencintai Al-Qur’an secara fisik maupu nbatin. Seluruh hidupnya diperuntukkan untuk berdakwah menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an ke masyarakat. 



      KH Muntaha al-Hafiz menghembuskan nafasnya yang terakhir pada hari Rabu, 29 Disember 2004 dalam usia kira-kira 92 tahun. 
      Semoga beliau selalu digolongkan menjadi Ahlul Al-Quran hidup bersama para Sidiqin Syuhadak dan para Solikhin ila yaumiddin wa ila Jannatinna`im dan 
      Mudah-mudahan rahmat Allah sentiasa dilimpahkan ke atas beliau, guru-guru beliau ,Keluarga dan dzuriyyah beliau  serta  muslimin  muslimat sekaliannya.........al-Fatihah






      Subscribe To RSS

      Sign up to receive latest news