|
Prof. Dr. H. Nur Syam, MSi
|
Pengantar
Membicarakan Islam tentu saja menjadi kurang sempurna jika tidak membicarakan dunia tasawuf. Hal ini tentu saja disebabkan oleh sejarah perkembangan Islam yang tidak bisa dilepaskan dari peran tasawuf di dalamnya. Di dalam teks Islam yang sangat masyhur, bahwa selain terdapat pertanyaan tentang ma huwa al Iman, lalu ma huwa al Islam, juga terdapat pertanyaan ma huwa al ihsan.[3] Konsepsi al ihsan inilah yang kemudian dipahami sebagai pembicaraan tentang dunia tasawuf yang memang terkait dengan aspek esoteric agama ini.
Secara historis-tekstual, bahwa ajaran tasawuf bisa dilacak keberadaannya sampai nabi Muhammad saw. Beliau adalah seorang Nabi yang memang mengajarkan kehidupan spiritual dalam coraknya yang mendalam atau esoteric. Nabi Muhammad saw memang tidak hanya mengajarkan tentang berislam dalam coraknya yang formal-fungsional atau eksoterisme akan tetapi juga mengajarkan agama yang substansial-fungsional atau esoterisme. Di dalam sejarah Islam kemudian dikenal ada dua sumber esoterisme di kalangan sahabat Nabi Muhammad saw, yaitu Abu bakar al Shiddiq dan Ali bin Abi Talib. Makanya, dari dua orang Sahabat Nabi Muhammad saw inilah semua ajaran tasawuf bermuara dan bersambung kepada Nabi Muhammad saw.[4]
Dari kedua sahabat Nabi Muhammad saw tersebut maka lahirlah banyak macam tasawuf dan juga aliran tarekat. Dari kategorisasi umum kemudian dikenal ada tasawuf falsafi, tasawuf akhlaqi, tasawuf ‘amali. Ketiganya tentu memiliki substansi pembenaran sesuai dengan dasar pijakannya masing-masing. Akan tetapi yang jelas bahwa tasawuf memiliki dasar sesuai dengan konsepsi Islam yang orisinal.
Di dalam perkembangannya, tasawuf yang merupakan warisan intelektual Islam tersebut kemudian menjadi ordo-ordo keagamaan yang bervariasi. Tarekat yang bermacam-macam tersebut kenyataannya memiliki jalur spiritual kepada dua orang sahabat Nabi Muhammad saw, Abu Bakar al Shiddiq dan Ali ibn Abi Talib. Tarekat yang kemudian menjadi ordo-sufisme, tentu dapat dikaitkan dengan tasawuf falsafi, tasawuf ‘amali dan tasawuf akhlaqi. Namun demikian, kecenderungan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa tasawuf ‘amali jauh lebih dominan ketimbang lainnya.
Tasawuf dan Tarekat
Tasawuf memiliki peran yang sangat penting di dalam proses Islamisasi di dunia ini. Tidak terkecuali di Indonesia. Di antara sekian banyak teori tentang islamisasi di Nusantara, maka Islamisasi melalui tasawuf menempati posisi yang paling strategis. Corak Islam di Nusantara yang mengedepankan Islam kultural, adalah sangat bercorak Islam tasawuf.[5]
Tasawwuf adalah dimensi intelektual di dalam ajaran Islam yang merupakan ajaran esoterisme di dalamnya. Sedangkan tarekat adalah dimensi praktis di dalam ajaran tasawuf yang sudah memperoleh pelembagaan melalui persambungan sanad dari mata rantai guru tarekat dari masa ke masa. Sebagai ordo sufisme, tarekat telah mengalami perkembangan sangat menakjubkan dalam sejarah Islam dari masa ke masa.[6]
Sebagai ajaran Islam esoteric, maka tentunya terdapat sejumlah nama yang sangat terkenal sebagai ahli tasawwuf, baik yang bersorak falsafi, akhlaki maupun’amali. Tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang di dalamnya terdapat corak pemahaman keagamaan yang esoteric berbasis pada “kemenyatuan” Tuhan dengan manusia (wahdat al wujud)[7] atau di dalam konsep Jawa disebut manunggaling kawulo lan Gusti. Selain itu juga terkait dengan konsep hulul[8] dan ittihad.[9]Tasawuf falsafi sering dikaitkan dengan Ibn ‘Arabi, Abu Yazid al Busthami, Dzinnun al Misri, Abu Manshur al Hallaj, dan di Jawa Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang atau dikenal dengan Syekh Abdul Jalil.
Tasawuf akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada penggunaan tasawuf sebagai instrument untuk melakukan kebaikan-kebaikan di dalam kehidupan dalam kaitannya dengan hablum minallah dan hablum minan nas. Di dalam tasawuf ini, maka yang dipentingkan adalah membangun perilaku yang berdasarkan atas akhlak mahmudah atau akhlak terpuji. Tasawuf akhlaki merupakan ajaran tasawuf yang mengajarkan tentang perilaku luhur atau akhlak al karimah. Untuk mencapai tujuan ini, maka seseorang harus melakukan mujahadah, riyadhoh dan muraqabah. Di antara tokoh yang sangat menonjol di dalam hal ini adalah Hasan al Basri, Imam al Ghazali, Rabiah al Adawiyah dan sebagainya.
Tasawuf ‘amali adalah ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada perilaku yang baik dalam kaitannya dengan amalan ibadah kepada Allah. Di dalamnya ditekankan tentang bagaimana melakukan hubungan dengan Allah melalui dzikir atau wirid yang terstruktur dengan harapan memperoleh ridla Allah swt. Tasawuf amali merupakan kelanjutan dari tasawuf akhlaki. Jika tasawuf akhlaki lebih banyak muatan teoretiknya, maka di dalam tasawuf ‘amali lebih banyak dimensi praksisnya. Tasawuf ‘amali merupakan tasawuf yang mengedepankan mujahadah, dengan menghapus sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dengan segenap esensi diri hanya kepada Allah SWT. Konsep syariah, tariqah dan haqiqah atau tahalli, takhalli dan tajalli adalah bagian dari konsepsi tasawuf ‘amali. Di antara tokohnya misalnya adalah penganut tarekat Imam Syadzili, Imam Naqsyabandi, Imam al Jilani dan sebagainya.
Di dalam perkembangannya, tasawuf akhlaki dan ‘amali memperoleh lahan subur di dalam kehidupan masyarakat. Tasawuf falsafi hampir-hampir tidak memperoleh lahan yang subur di dalam perkembangannya disebabkan oleh stereotipe tentang tasawuf falsafi yang dianggap menyimpang. Di dalam sejarah perkembangan tasawuf, maka pemikiran tasawuf Al Hallaj dan Syekh Abdul Jalil dinyatakan menyimpang dari tradisi keberagamaan kaum Sunni di dunia Arab maupun di Nusantara. Di dalam berbagai literature digambarkan bagaimana penyimpangan keberagamaan yang dilakukan oleh Al Hallaj dan juga penyimpangan yang dilakukan oleh Syekh Abdul Jalil serta penyimpangan oleh Syekh Mutamakin.[10]
Beberapa teks yang diproduksi oleh kaum Sunni tradisional menggambarkan tentang konsep “Ana al Haq” sebagai penyimpangan luar biasa, sebab dianggapnya sebagai bentuk tindakan keagamaan yang syirik atau menyekutukan Tuhan. Bagi kaum syariat-tradisional, maka ucapan tersebut akan dapat membawa kepada kemusyrikan sebab dianggapnya sebagai bentuk penyekutuan Tuhan. Ketika seseorang menyatakan “Aku adalah Tuhan” maka ketika itu pula yang bersangkutan sudah memasuki kawasan musyrik.
Ana al Haq di dalam konsepsi tasawuf falsafi adalah proses di mana Tuhan masuk ke dalam “kedirian” manusia atau memasuki alam “nasut” atau proses di mana manusia terserap ke dalam “kedirian’ Tuhan atau memasuki alam “lahut”. Sebagai akibat dzikir atau wirid yang dilakukan oleh manusia, maka manusia akan bisa memasuki alam “ketuhanan” dan juga sebaliknya Tuhan memasuki alam “kemanusiaan”. Hal itu terjadi ketika hijab antara kesakralan Tuhan dengan keprofanan manusia terbuka, sehingga sudah tidak ada lagi jarak yang memisahkan keduanya. Menyatu di dalam “kedirian” Tuhan atau menyatu di dalam “kedirian” manusia.
Kiranya, tasawuf Falsafi, sebagaimana yang dikembangkan oleh para sufi, akhirnya semakin surut. Ditengarai bahwa perkembangan tasawuf falsafi hanya sampai pertengahan abad ke 17. Kira-kira pasca Kyai Mutamakin tidak ada lagi perkembangan menonjol mengenai tasawuf falsafi ini.[11] Di dalam perkembangan berikutnya, maka tasawuf menjadi orde sufisme yang mengambil bentuk tasawuf ‘amali, atau yang kemudian dikenal sebagai tarekat. Sebagai ordo sufisme, tarekat menjadi satu ajaran yang lebih mengedepankan diri sebagai perkumpulan orang yang mengamalkan ajaran agama dalam corak esoterisme melalui bacaan wirid yang terstruktur.
Sebagai orde sufisme, tarekat diajarkan dari guru ke murid melalui rangkaian sanad secara sambung menyambung sampai kepada Nabi Muhammad saw. Rangkaian sanad guru tarekat inilah yang menentukan apakah sebuah tarekat dinyatakanmu’tabar atau ghairu mu’tabar. Tarekat dianggap absah apabila ketersambangan sanad gurunya bisa dilacak dan tidak diragukan keabsahannya. Makanya, mata rantai ketersambungan sanad menjadi ukuran untuk menentukan kemu’tabaran tarekat.
Untuk kepentingan tersebut, maka Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang terkait langsung dengan dunia tarekat lalu menyusun sebuah organisasi yang menjadi instrument untuk memahami dan mengukur kemu’tabaran sebuah tarekat yang disebutnya sebagai Jam’iyah Ahli Thoriqoh Mu’tabarah Nahdliyah (JATMAN), pada awal tahun 1970-an. Melalui organisasi ini, maka dibuatlah mana tarekat yang abash (mu’tabar) dan mana yang tidak absah (ghairu mu’tabar). Tarekat yangmu’tabar ditandai dengan ketersambungan sanad mursyidnya sampai kepada rasulullah, kemudian ajaran tarekatnya yang memiliki ketersambungan sampai rasulullah, dan pengamalan tarekat yang kontinyu dan istiqamah serta akhlak yang terpuji.[12]
Tasawuf memang telah mengalami proses pelembagaan. Di dalam hal ini, ialah melalui proses penyamaan keyakinan, ibadat, ritual, doktrin dan konsekuensi-konsekuensi logis dari hal itu semua. Di dalam sistem keyakinan, misalnya adalah adanya kesamaan doktrin esoteric ajaran tarekat, yaitu implementasi konsep wahdat al wujud (penyatuan manusia dengan Tuhan) dan wahdat al sujud (penyatuan kesaksian terhadap Tuhan) kemudian kesatuan ritual melalui wirid-wirid yang sebagai konsekuensi logis doktrin di atas, misalnya tradisi wiridan, tawajuhan (proses bimbingan guru pada murid), uzlah(menyendiri di tempat sunyi untuk berdzikir) dan juga mengembangkan al akhlak al mahmudah (perilaku terpuji).
Lembaga ketarekatan memiliki perbedaan dengan lembaga-lembaga profan lainnya. Ada tiga hal yang membedakannya, yaitu: doctrine, virtue and spiritual alchemy. Doktrin keesaan Tuhan yang dapat menyatu dengan makhluk (manusia) pencarinya, spiritual alchemy (al ihsan) yaitu kemampuan manusia untuk melihat Tuhan seakan-akan Tuhan hadir pada dirinya dan spiritual alchemy yaitu konsentrasi secara mendalam terhadap apa yang dikonsentrasikan tersebut. Jadi, di dalam diri manusia terdapat kemampuan atau potensi yang dapat ditransformasikan ke dalam lainnya, sebagaimana kimia yang juga dapat dipindahkan ke logam lainnya.[13]
Di dalam proses pelembagaan tasawuf tersebut kemudian dikenal nama-nama tarekat seperti Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Kubrawiyah, Naqsyabandiyah Khalidiyah, Syatariyah, dan sebagainya. Nama-nama tarekat ini dinisbahkan dengan masing-masing pemuka tarekatnya. Setiap tarekat juga mengembangkan konsep ritual yang berbeda-beda dan juga teknik dzikir yang berbeda. Namun demikian, semuanya bertujuan untuk memperoleh ridla Allah sehingga akan bisa berjumpa dengan-Nya. Hal itu tergambar dari doa yang dibacanya, Ilahi anta maqshudi, wa ridlaka mattlubi a’thini mahabbataka wa ridhaka. Ya Allah Engkaulah yang aku maksudkan, dan ridhamu yang aku inginkan, berikan kami kecintaan-Mu dan ridla-Mu.
Pergulatan Tasawuf dengan Kehidupan Duniawi
Untuk memahami pengaruh tasawuf bagi kehidupan duniawi yang profan, maka tentu ada beberapa bukti empiris yang dapat dijadikan sebagai rujukan. Di antara konsep yang bisa dipakai untuk menjelaskannya adalah tentang konsep moralitas tasawuf, pembangkangan kaum tarekat,[14] dan tasawuf perkotaan atau urban Sufism.
Pertama, apakah tasawuf memiliki peran di dalam membangun peradaban dunia? Terhadap pertanyaan ini, maka bisa dijawab melalui tiga kenyataan empiris bahwa secara teologis dan ideologis bahwa tidak ada ajaran tarekat atau tasawuf yang tidak mengembangkan prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin. Prinsip ketauhidan di dalam ajaran tarekat adalah membangun prinisp ketauhidan dengan menekankan pada prinsip dzikir “tidak ada Tuhan Selain Allah”, Lailaha Illallah, baik dalam konteks dzikir nafi itsbat maupum dzikir lainnya. Melalui prinsip teologis dan ideologis yang berada di dalam konteks wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin tersebut, maka kita berkeyakinan bahwa tasawuf akan bisa dijadikan sebagai instrument bagi pembangunan peradaban dunia. Prinsip doktriner bahwa Islam adalah agama rahmat tentu akan mengajarkan tentang keselamatan, keharmonisan dan kerukunan. Melalui prinsip Islam rahmatan lil alamin yang diterjemahkan sebagai pengembangan prinsip kerukunan, keharmonisan dan keselamatan maka dapat dipastikan bahwa ajaran tasawuf akan dapat menjadi pilar penting bagi proses membangun peradaban dunia berbasis pada perdamaian.[15]
Kedua, ajaran tasawuf memiliki nilai etika yang luar biasa di dalam kehidupan dunia. Ajaran etika di dalam tarekat sesungguhnya memiliki kekuatan yang luar biasa sebagai pembentuk tindakan yang baik. Tasawuf sebagai prosestazkiyatun nafs tentu akan mengarahkan penganutnya pada sidqul qalbi, sidqul qaul dan sidqul amal. Melalui kejujuran hati, maka akan didapati ketiadaan kebohongan hati baik kepada sesame manusia maupun kepada Allah. Melalui kejujuran perkataan maka apa yang diucapkan akan selalu disesuaikan dengan apa yang dialami dan dilakukan dan melalui kejujuran tindakan, maka juga akan didapati kesesuaian dengan apa yang dilakukan dengan kenyataan riil tindakannya tersebut. Melalui ajaran tasawuf, maka sesungguhnya akan didapati sebuah system mekanik di dalam kehidupan manusia yang akan bisa menjadi pattern for behavior bagi kehidupannya.
Melalui kajian yang dilakukan oleh Dahlan Tamrin menegaskan bahwa struktur politik memang sangat powerfull di dalam mempengaruhi perilaku kaum tarekat terutama di bidang politik, akan tetapi dari studi ini juga digambarkan bahwa masih banyak kaum tarekat yang menggunakan etika politik di dalam implementasi perilaku politiknya. Studi ini menggambarkan bahwa etika politik kaum tarekat ternyata terpilah menjadi tiga, yaitu: etika politik luhur, etika politik bawur dan etika politik ngawur. Di antara penganut tarekat yang menjadi politisi ternyata masih banyak yang jujur di dalam tindakan politiknya.[16]
Di sisi lain, tarekat adalah sebagai medium bagi pendidikan karakter. Tidak ada ajaran yang sesolid tarekat di dalam mengajarkan pendidikan karakter. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Mihmidaty Ya’cub, bahwa penganut tarekat Syadziliyah di Pesantren Urwatul Wutsqo, tarekat ternyata bisa menjadi medium pendidikan berbasis karakter. Para santri yang diajarkan tarekat Syadziliyah ternyata memiliki perilaku yang sesuai dengan ajaran tarekatnya tersebut. Melalui proses pembinaan secara terstruktur berbasis ajaran moralitas tarekat, maka para santri ternyata secara terus menerus dapat mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ajaran para guru tarekatnya. Bahkan para alumni yang telah dididik dengan pemahaman Islam ala tarekat Syadziliyah ternyata tetap mengamalkan ajaran tarekat tersebut dan berakhlak sesuai dengan ajaran tarekatnya.[17]
Dari temuan empiris ini, bisa dibandingkan dengan dunia mahasiswa yang tidak disentuh dengan ajaran agama dalam perspektif esoterisme. Berdasarkan yang diceritakan oleh Rektor Universitas Satya Wacana beberapa saat yang lalu. Suatu kesempatan bahwa ada pertemuan mahasiswa di Thailand. Sebagai peserta pertemuan ini, maka ada mahasiswa Jepang, Korea, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia dan sebagainya. Dari seluruh mahasiswa yang hadir maka diberikan session khusus untuk membicarakan perencanaan kegiatan khusus untuk mereka sendiri. Akhirnya diputuskan untuk melakukan kunjungan ke universitas. Yang menarik, bahwa mahasiswa Jepang meminta izin dan pamit kepada dosen-dosennya, akan tetapi tidak satupun mahasiswa Indonesia yang melakukannya. Maka lalu memunculkan pertanyaan, siapa yang sesungguhnya lebih religious, apakah mahasiswa Indonesia ataukah mahasiswa Jepang.
Kemudian juga sebuah peristiwa dalam upacara Gerakan Anti Korupsi yang dilakukan di Kantor Grahadi. Dari sebanyak 20 orang anak yang diminta untuk menyerahkan sticker Gerakan Anti Korupsi, maka hanya ada satu anak perempuan yang melakukan salaman dengan orang tua sambil mencium tangan orang tua-tua atau pejabat-pejabat itu. Maka ada suatu kenyataan membentang bahwa ternyata yang melakukan tindakan bersalaman sambil mencium tangan yang lebih tua hanya sedikit.
Di sisi lainnya, para santri tarekat juga bisa menjadi bagian dari kenyataan empiris bahwa pendidikan karakter ternyata penting. Jika kita berkunjung ke pesantren tarekat, maka akan didapati bagaimana para santri tarekat itu menghormat kepada yang lebih tua. Jika mereka duduk di pinggir jalan, maka ketika ada yang lebih tua lewat, maka para santri berdiri untuk menghormat kepada yang lewat tersebut. Makanya di dunia pesantren tidak didapati demonstrasi, sebab mereka menyadari betul akan pentingnya keridlaan ilmu bagi mereka. Jika kyainya merestui ilmunya, maka mereka akan memperoleh manfaat akan ilmunya tersebut.
Pendidikan karakter hakikatnya adalah pendidikan hati. Dewasa ini banyak proses pembelajaran yang tidak menggunakan hati nurani. Pembelajaran lebih mengarah kepada pendidikan intelektual saja sehingga tidak sampai kepada pembentukan karakter manusia.
Kemudian juga semakin banyaknya eksekutif muda yang mengamalkan tarekat secara non structural. Mereka mengamalkan tarekat yang dianggap televan dan cocok dengan kehidupannya. Ketika mereka terkena macet di jalan, maka yang dilafalkan adalah Allahumma yassir wa la tu’assir. Jadi bukan melafalkan lagu-lagu pop atau dangdut, akan tetapi membaca wirid yang diyakini bisa mengantarkannya kepada kemudahan. Bahkan banyak dijumpai mereka menghidupan video atau apapun yang berisi tentang wirid atau dzikir ketarekatan.
Hal di atas memberikan gambaran tentang bagaimana tarekat telah memasuki kehidupan masyarakat, tidak saja kaum awam akan tetapi juga kaum elit bahkan para pengusaha muda. Jadi, tarekat telah menjadi fenomena yang khusus bagi masyarakat Indonesia dan sesungguhnya telah menjadi gerakan yang berjalan ke depan sesuai dengan karakter yang dimiliki oleh tarekat yang rahmatan lil alamin.
Oleh karena itu, menurut saya bahwa melalui kenyataan teroretis dan empiris sebagaimana saya paparkan di atas, ternyata tasawuf bisa menjadi instrument bagi pengembangan peradaban dunia yang didasari oleh semangat keagamaan esoteric yang menjanjikan. Di dalam hal ini, maka tasawuf ‘amali bisa menjadi instrument bagi terbentuknya akhlak mahmudah sebagaimana yang dicita-cita oleh ajaran Islam, bahwa Islam memang diturunkan untuk membentuk akhlak mulia.
Kesimpulan
Tasawuf falsafi yang di masa lalu pernah memiliki akar kuat di kalangan penganut tasawuf akhirnya harus stagnan di tengah pemahaman agama yang lebih puristik. Melalui penyaringan yang dilakukan oleh kaum suni tradisional-puristik, maka tasawuf falsafi mengalami kesulitan berkiprah, sehingga semakin menguatkan gerakan tasawuf-akhlaki maupun tasawuf ‘amali.
Perubahan tersebut sangat kelihatan akhir-akhir ini, di mana semangat untuk pengorganisasian tasawuf ‘amali semakin kuat. Tarekat seperti Syadiziliyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah bahkan Gerakan Shalawat Wahidiyah semakin kuat mengarah kepada pemahaman ajaran Islam yang lebih puristik, sehingga ajaran tarekat yang banyak diambil adalah dimensi akhlaknya dan bukan pemikiran filosofiknya.
Tarekat dengan demikian sesungguhnya dapat dijadikan sebagai instrument untuk membangun peradaban dunia melalui kontribusinya di dalam pendidikan karakter. Baik secara konseptual maupun praksis, tasawuf ‘amali atau tarekat mu’tabaroh telah menjalankan fungsinya sebagai penjaga moralitas masyarakat dan menjadi penyangga bagi perbaikan akhlak masyarakat. Dengan demikian, sesungguhnya tarekat memiliki kekuatan yang signifikan di dalam membangun manusia yang paripurna.
[1] Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional tentang “Tasawuf-Filosofis, Melacak Jejak Tasawuf di Indonesia.” Sabtu 6 Agustus 2011 di Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia.
[2] Penulis adalah Sosiolog, menyelesaikan Strata satu pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, kemudian Strata dua dan tiga Ilmu Sosial di Universitas Airlangga. Kini menjabat sebagai Rektor IAIN Sunan Ampel dan Ketua Forum Pimpinan PTAIN Se Indonesia dan ketua Bidang Sosial Budaya Dewan Riset Daerah Propinsi Jawa Timur.
[3] Di dalam hadits Nabi Muhammad saw, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dinyatakan “ma huwa al ihsan, an ta’budallah kaannaka tarahu fa in lam tarahu fainnaka yaraka” yang artinya “apakah ihsan itu, ialah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau mengetahuinya dan jika engkau tidak mengetahuinya maka Allah mengetahuimu.
[4] Seluruh tarekat yang diketahui sanad mursyidnya, maka selalu bermuara kepada dua orang sahabat Nabi Muhammad saw, yaitu tarekat yang dibangsakan kepada Sayyidina Ali dan Sayyidina Abu Bakar. Di antara tarekat yang dibangsakan kepada Sayyidina Ali adalah tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Tarekat Syadiziliyah, Tarekat
[5] Periksa tulisan Uka Tjandrasasmita, “The Introduction of Islam and the Growth of Moslem Coastal Cities in the Indonesian Archipelago” dalam Haryati Subadiyo, Dinamics of Indonesian History (Amsterdam: Northolland Publishing Company, 1979), 151
[6] Menurut Zamakhsyari Dhofier, bahwa tarekat merupakan dimensi praksis dari dimensi intelektual tasawuf yang berarti jalan atau lebih lengkap jalan menuju surga. Periksa Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai¸(Jakarta: LP3ES, 1982), 140-141
[7] Konsep wahdat al wujud dikaitkan dengan Ibn Arabi. Dalam pandangan wahdat al wujud, dinyatakan bahwa Tuhan dan manusia dapat menyatu di dalam dzat. Di dalam hal ini, bahwa dzat Tuhan dapat bersemayam di dalam diri manusia, yaitu ketika Tuhan masuk ke dalam diri manusia. Di dalam konsepsi ini, maka hakikat manusia dan Tuhan adalah dua entitas yang memiliki kesamaan, sehingga keduanya dapat menyatu karena usaha-usaha manusia.
[8] Konsep hulul adalah dikaitkan dengan al Hallaj. Konsep ini menggambarkan bahwa terdapat penyatuan antara Tuhan dengan manusia atau antara manusia dengan Tuhan. Tuhan memiliki sifat-sifat kemanusiaan dan manusia juga memiliki sifat-sifat ketuhanan. Sebagaimana ungkapan al Hallaj “ana al haq”. Tuhan dapat memasuki alam manusia melalui sifat nasut dan manusia juga dapat memasuki alam ketuhanan melalui sifat lahut. Ketika al Hallaj menyatakan ana al haq, maka yang terjadi adalah Tuhan terserap ke dalam dirinya.
[9] Di dalam konsepsi tasawuf, Ittihad adalah konsep yang dikembangkan oleh Abu Yazid al Bustami. Konsep ini menyatakan bahwa Tuhan dan manusia dapat menyatu di dalam diri manusia. Manusia hakikatnya adalah pancaran Tuhan, sehingga terdapat kenyataan bahwa antara Tuhan dan manusia dapat menyatu. Eksistensi manusia dengan Tuhan dapat menyatu di dalam diri.
[10] Zainul Milal Bizawi telah menepis ketidaktepatan untuk menyatakan bahwa Syekh Mutamakin sebagai ajaran yang menyimpang sebab ajaran agama yang dikembangkannya tetap berada di dalam koridor Islam Sunni. Hanya saja memang ajaran beliau bercorak tasawuf. Periksa Zainul Milal Bizawi, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al Mutamakin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645-1740) (Jakarta: Keris dan Samha, 2002). Tulisan lain yang juga membela terhadap agama rakyat ini adalah tulisan Agus Sunyoto. Meskipun dikemas dalam sejarah-imajinatif, akan tetapi sangat tegas pemihakannya terhadap kebenaran ajaran Syekh Abdul Jalil atau Syekh Siti Jenar. Ada sebanyak tujuh jilid karya Agus Sunyoto yang bercerita tentang keberagamaan Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar. Baca, Agus Sunyoto, Suluk Syekh Abdul Jalil, (Yogyakarta: LKIS, 2009).
[11] Zainul Milal Bizawi mencatat bahwa Kyai Mutamakin memang seorang penganut sunni, akan tetapi ketertarikannya dan praktik keagamaan yang bercorak tasawuf falsafi sangat kentara. Periksa Zainul Milal Bizawi, Perlawanan Kultural ….,hlm. 142-144
[12] Menurut Syafi’i Ahsan, mengutip kitab Jami’u Ushul al Auliya, bahwa terdapat sebanyak 42 tarekat yang dinyatakanmu’tabar, yaitu: tarekat al-Naqsyabandiyah,al- Qaidiriyah, al- Syadziliyah, al-Rifa’iyah, al-Ahmadiyah, al-Dasuqiyah, al-Akbariyah, al-Maulawiyah, al-Kubrawiyah, al-Suhrawardiyah, al-Khalwatiyah, al-Jalwatiyah, al-Kadasyiyah, al-Ghazaliyah, al-Rumiyah, al Sa’diyah, al Justiniyah, al Sya’baniyah, al-Kalsaniyah, al-Hamzawiyah, al Biramiyah, al Usysyaqiyah, al-Umariyah, al ustmaniyah, al Alawiyah, al Abbasiyah, al Zainabiyah, al Isawiyah, al Maghrabiyah, al Bukhuriyah, al Haqdadiyah, al Ghaibiyah, al Khodiriyah, al Syathoriyah, al Bayumiyah, al Malamiyah, al-Idrusiyah, al-Sunbuliyah, al-Uwaisiyah, al-Idriyah, Akabirul Auliya”. Periksa Muhammad Syafi’I Ahsan, “Tharoqah Mana yang Paling Benar” dalam Majalah Aula, No. 7, tahun XII, Juli-Agustus, 1990, 77-78.
[13] Titus H. Buckhardt’s, An Introduction to Sufi Doctrin (Lahore: Asraff Press, 1973), 99-110
[14] Sartono Kartodirdjo, Gerakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985. Periksa juga Sartono Kartodirdjo, “Agrarian Radicalism: It’s Setting and Development” dalam Claire Holt, Culture and Politics in Indonesia (Ithaca: California University Press, 1977). Periksa juga Nur Syam, Pembangkangan Kaum Tarekat (Surabaya: LEPKISS, 2004).
[15] Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia (Yogyakarta: Impuls, 2009),
[16] Periksa Dahlan Tamrin, “Studi Konstruksi Sosial Etika Politik Penganut Tarekat Malang Raya” , Disertasi IAIN Sunan Ampel, tidak diterbitkan, 2009.
[17] Periksa, Muhmidaty Ya’cub, “Pendidikan Tasawuf dan Aplikasinya Dalam Perilaku Keagamaan (Studi Pada Tariqah Shadhiliyah di Pondok Pesantren al-Urwatul Wutsqo Bulurejo, Diwek, Jombang)”. Disertasi IAIN Sunan Ampel tidak diterbitkan, 2011