



Logo/Lambang Madrasah Salafiyah

Pondok Pesantren Salafiyah Kajen.
Pengasuh :( KH. Siraj Ishaq dan KH Baidlowie Siraj, K H Faqihudin Baidlowi, K H Ali Ajib Baidlowi, )
KH. Asmui Hasan, KH Ubaidillah Wahab. Alamat : Kajen Margoyoso Pati. Phon : 0295-4150037 Fax:0294-4150409 Email : salafi_ma@yahoo.com
Website:

Dewan Guru Madrasah Salafiyah
Menerima:Putra-Putri
Deskripsi:
Pada sekitar tahun 1900 bentuk pesantren di Kajen mulai berbentuk
klasikal atau dapat dikata mulai tertata rapi meski belum berwujud
madrasah/sekolah. Adalah KH. Nawawi putra KH. Abdullah yang memprakarsai
berdirinya Pondok Kulon Banon yang dikemudian hari bernama Taman Pendidikan
Islam Indonesia (TPII). Selang dua tahun di susul oleh KH. Siroj, putra KH.
Ishaq juga mendirikan Pondok Wetan Banon yang dikemudia hari bernama Salafiyah.
Penamaan Kulon dan Wetan Banon ini disandarkan pada letak posisinya dari makam
Kanjengan, makan dekat pesarean Syekh Mutamakkin yang diyakini makam para
ningrat Pati. Keberadaan makam itu yang dikelilingi tembok besar (Banon)
menjadikan kompas bagi masyrakat Kajen untuk menyebut pesantren yang berdiri
hampir bersamaan itu. Baru sekitar delapan tahun (1910), KH. Abdussalam (Mbah
Salam), saudara KH. Nawawi mendirikan pondok di bagian paling Ujung Barat desa
Kajen, dan dinamakan Pondok Pesantren Polgarut yang dikemudian hari bermama
Pondok Pesantren Maslakul Huda Polgarut Utara (PMH Putra). Ketiga pesantren di
atas boleh dikata awal kebangkitan pesantren di Kajen yang kemudian baru muncul
pesantren-pesantren kecil lain yang jika ditelusuri tidak terlepas dari ikatan
keluarga dengan ketiga bani tersebut. Bahkan masyarakat meyakini bahwa ketiga
ulama tersebutlah yang kemudian menjadi panutan di desa Kajen. Pradjarta
Dirdjosanjoto pernah melakukan penelitian tentang perkembangan Islam di sekitar
wilayah Tayu, menganggap bahwa keturunan ketiga bani (Bani Siroj, Bani Nawawi
dan Bani Salam) tersebut yang kini mempunyai pengaruh besar di desa Kajen.
Embrio Pondok Kajen Wetan Banon yang berdiri tahun 1902 merupakan bentuk
kepedulian KH. Siroj untuk meneruskan perjuangan Syekh Mutamakkin dalam
menegakkan kebenaran agama Allah. Pada masanya, karena beliau sebelumnya
seorang saudagar kaya raya, maka tak mudah untuk mendirikan beberapa pondokan
dan satu musholla. Musholla di depan rumahnya merupakan tempat pada mana orang
menimba ilmu dari beliau. Tempatnya yang pinggir jalan persis membuat orang
mudah mengenalnya. Disertai dengan bangunan besar dari kayu di seberang jalan,
KH. Siroj memulai pengajian-pengajian tentang keagamaan dan kemasyarakatan.
Dengan kelebihannya yang mendapatkan ilmu ladunni, para santrinya pun semakin
hari semakin bertambah. Inilah awal yang baik bagi Yayasan Salafiyah yang
disertai dengan keikhlasan dan kebersahajaan pendirinya. Semoga benih yang
telah ditanam KH. Siroj ini betul-betul dirawat oleh keturunannya secara benar
dan amanah. Kemajuan Pesantren Wetan Banon yang cukup pesat tidak dapat
dipisahkan dari kepribadian KH. Siroj yang merupakan ulama dan ilmuwan ternama.
Para murid senior yang juga keluarga dekatnya, mendapat kesempatan untuk
membantu mengelola pesantren dan mempunyai andil dalam kemajuan pesantren. Para
santri tertarik dengan sistem pengajaran yang diberikan olehnya. Dapat dilihat
muridnya seperti KH. Bisri Syamsuri yang menjadi ulama besar di Denanyar
Jombang, atau KH. Hambali yang menjadi tokoh terkemuka di Waturoyo. Pondok
Wetan Banon ini dipegang oleh KH. Siroj selama 26 tahun dalam kondisi
ketegangan politik oleh kolonial Belanda. Sepeninggalan KH. Siroj pada tahun
1928, Pondok Wetan Banon ini diasuh oleh putranya, KH. Baedlowie dan
KH.Hambali. Tepatnya pada tanggal 1 Januari 1935 barulah duet kepemimpinan ini
membuka Madrasah yang dinamakan Madrasah Salafiyah. Madrasah ini dibangun tiga
tahun setelah Madrasah Matholiul Falah yang dirikan oleh KH. Thohir, KH Durri,
KH. Mahfudz dan KH. Abdullah Salam dari Kajen Kulon Banon dan Pol garut. Madrasah
Salafiyah dibangun di samping rumah dan pondok Wetan Banon bagian timur yang
kebetulan KH. Siroj memberikan tanah itu untuk dikelola oleh KH Baedlowie. Saat
Salafiyah dipegang oleh sosok kharismatik KH Hambali dan KH Baedlowi, Madrasah
sebagai pelengkap dari pengajaran agama di pesantren tersebut tampak pola-pola
pengelolaannya yang masih digarap secara individual. Penamaan Salafiyah ini
akhirnya lebih kentara dan dikenal oleh khalayak ramai untuk pesantrennya juga.
Makanya masyrakat kemudian menyebut Madrasah Salafiyah tidak lepas dari
Pondoknya, yaitu Pondok Wetan Banon yang kemudian entah mulai kapan berganti
dengan Pondok Salafiyah. Hanya sekitar enam tahun madrasah ini melakukan
aktifitasnya, namun sejak masa pendudukan fasis militer Jepang (1942) madrasah
ditutup sementara. Kajen menjadi tempat yang diawasi secara ketat. Beberapa
pengelola Madrasah Salafiyah ikut terjun ke kancah politik perjuangan, seperti
ke Hisbullah atau menangani keagamaan di Pemerintah (sekarang DEPAG). Peristiwa
ini mengakibatkan banyak warga pria Kajen meninggalkan desanya untuk mencari
suaka, dan ikut terjun memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tak ketinggalan
KH. Hambali. KH. Hambali pergi ke rumah mertuanya di Bareng Jekulo Kudus. Dan
disana pada tahun 1955, KH. Hambali juga membuka madrasah dan pesantren baru
yang juga dinamakan Salafiyah. Setelah situasi tanah air mengijinkan pada tahun
1945 madrasah Salafiyah Kajen dibuka kembali, di bawah asuhan KH Baedlowie
dengan dibantu H. Hamzawie dan angkatan mudanya. Pada tahun 1948 berkat
ketekunan dari pengelola madrasah Salafiyah sudah mendapat pengakuan dari
pemerintah. Bahkan pada tahun 1950, Salafiyah mendapatkan subsidi pemerintah
yang berupa tenaga pengajar dan alat-alat sekolah. Pada masa ini gedung
Madrasah Salafiyah baru tiga lokal di samping barat kediaman KH. Baedlowie dan
beberapa lokal di depan rumahnya. Kemampuan KH. Baedlowie mengajak angkatan
muda dan santri-santrinya yang dianggap mumpuni untuk ikut bergabung cukup
memadai sampai metode klasikal dan tradisi diskusi/musyawarah diterapkan. Para
santri begitu tekun dan merasa cocok dengan metode seperti ini. Sehingga
semakin banyak siswa yang belajar di madrasah Salafiyah. Dalam hal
pelaksanaannya, KH. Baedlowie menyerahkan pengelolaan Madrasah Salafiyah kepada
KH Muzayyin Hadi. Dengan kemampuan KH. Muzayyin Hadi ini tampak adanya bentuk
kerangka keorganisasian yang bagus. Atas perkembangan yang baik ini pada tahun
1956 dibukalah kelas tingkat Tsanawiyah tiga tahun, dan pada tahun 1958
madrasah Salafiyah mendapat PIAGAM (Pengakuan wajib belajar) dari
pemerintah/Departemen Agama Republik Indonesia). Pada sekitar tahun 1960, atas
usulan para generasi mudanya, pesantren ini dinamakan Taman Pendidikan Tamrinul
Huda (TPTH), namun tak begitu lama atas kesepakatan keluarga namanya
dirubah kembali ke semula, yaitu Pesantren Salafiyah. Perubahan nama itu tidak
mempengaruhi proses pertumbuhan madrasahnya. KH. Muzayyin Hadi tetap berkiprah
sampai ia non-aktif. Dan kepengurusan dipegang oleh keponakan KH. Baedlowi yang
telah menjadi sarjana muda yaitu H. Hadziq Siroj, BA, putra KH. Abdul Kohar. Ia
melakukan pembenahan sistem keorganasiasian, tata kerja, administrasi dan mata
pelajaran. Pada tahun 1968, Madrasah Salafiyah mampu mendirikan tingkat Aliyah
tiga tahun dan tiga tahun kemudian yaitu tahun 1971 tingkat muallimat enam
tahun di buka untuk perempuan yang ingin sekolah di madrasah Salafiyah. Pada
kepengurusan Hadziq Siroj, keorganisasian Pelajar salafiyah mulai dibentuk
dengan nama Persatuan Pelajar Salafiyah (PPS). Namun pada tahun 1973, kesibukan
Hadziq Siroj di badan legislatif Daerah Pati meningkat, hingga kepengurusan pun
diserahkan kepada Muwaffaq Noor. Perubahan ke arah perbaikan itu semakin tampak
jelas saat kepemimpinannya dipegang Muawwaq Noor, menantu KH. Abdul Wahab
(1973-1979). Pada kepengurusannya Madrasah Salafiyah menerima surat
akte Pengesahan Perguruan Agama Islam dari pemerintah pada tahun 1975
nomor : K/127/III/75. Organisasi Siswa yang bernama PPS (Persatuan Pelajar
Salafiyah) kemudian seiring perkembangan diubah menjadi KPS-KPPS (Keluarga
Pelajar Salafiyah-Keluarga Pelajar Putri Salafiyah). Wadah ini merupakan
alternatif yang apik bagi siswa-siswi yang mau mengembangkan kreatifitasnya.
Menyadari hal itu Muwaffaq Noor dengan dibantu Mas’udi mengadakan penataran
leadership selama sepekan pada setiap kepengurusan. Hasilnya sungguh luar biaa,
bursa-bursa calon ramai dengan kampanye sepekan sebelum pemilihan. Hal itu
menunjukkan sifat kompetitif di antara siswa. Pada era ini pula, tampak
pelebaran sayap ke berbagai kegiatan dan drama. Antara lain pertukaran pelajar,
pengembangan bahasa Arab dan bahasa Inggris, serta daya apresiasi seni yang
mengantarkan Salafiyah ke kancah PORSENI se-eks Karisedanan Pati. Namun
kekhasan di madrasah ini yang juga kekhasan madrasah di Kajen adalah adanya
testing Baca Kitab ketika akan menyelesaikan studinya. Kitab yang ditestingkan
adalah Fiqh tahrir dan Hadis Bulughul Marom. Tak ketinggalan tingkat
tsanawinya. Mengenai pelaksanaan pengajian di pesantrennya, tetap berjalan seperti
biasa dengan metode bandongan, sorogan yang dipandang masih efektif. Karena
kondisi KH. Baedlowie sakit parah, maka pengelolaannya pesantren dilakukan oleh
KH. Faqihuddin, putra KH. Baedlowie. Dengan dibantu oleh saudara-saudaranya dan
santri senior, santri yang berdatangan juga semakin meningkat. Hingga harus
membangun gedung di depan rumah KH. Faqihuddin untuk menambah daya tampung
santri. Proses pengajaran di pesantren pada saat ini dipandang berjalan seiring
dan saling melengkapi dengan kurikulum yang diajarkan di madrasah. Berbeda
dengan tahap-tahap metamorfosis sebelumnya, ketika kepemimpinan madrasah
kembali ke tangan H. Hadziq Siroj (1980-1997), peningkatan mutu dan sistem yang
ditampilkan sungguh mencolok. Sekitar tahun 1982 dibentuk tim drumband yang di
kemudian hari mengharumkan Salafiyah. Mulai saat itu pula sistem pendidikan di
Salafiyah terkait dengan sistem pendidikan pemerintah. Sebagai manifestasinya
adalah dengan adanya persamaan ujian dan pengambilan jurusan. Dalam hal
pengambilan jurusan, Salafiyah mengalami lika-liku dan proses yang panjang.
Pertama kali Salafiyah mengikuti persamaan ujian tahu 80-an dan mengambil
jurusan IPS. Semula induknya di Boyolali, Solo namun kemudian dialihkan Kanwil
(DEPAG) ke Semarang. Pada era 80-an ini Madrasah Salafiyah dapat dikatakan masa
bangkitya. Madrasah Salafiyah mempunyai siswa yang boleh dikata kuantitasnya
dan kualitasnya terbaik di data statistik Semarang. Meski pada tahun 1980
kondisi KH. Baedlowie sedang sakit parah, tidak menghalangi perjuangan beliau
untuk berjuang lewat jalur pendidikan. Dalam kondisi terbaring, KH. Baedlowie
menganjurkan untuk memperluas spektrum ruang gerak Salafiyah. Pada tanggal 2
Pebruari 1981, lembaga tersebut dijadikan Yayasan yang diberi nama Yayasan
Assalafiyah kedudukan tetap berpusat di desa Kajen Margoyoso Pati. Namun di
tengah alur yang semakin membaik ini, datanglah sebuah berita duka pada subuh
hari Jum’at Pahing tanggal 3 Ramadhan 1402/25 Juni 1982 tentang wafatnya KH
Baedlowi. Untuk pertama kalinya, Yayasan ini diketuai oleh KH. Faqihuddin yang
juga menjadi pengasuh Pesantren Salafiyah. Untuk sekertarisnya dipegang saudara
sepupunya, K. Masruhin dengan dibantu oleh saudara-saudara yang lain baik dari
keturunan KH. Abdul Kohar, KH. Baidlowie maupun Nyai. Hj. Fathimah. Masa
kepngurusannya hingga kini belum juga diadakan restrukturisasi meskipun ada
beberapa personil yang sudah meninggal dunia. Pada era ini, Madrasah Salafiyah
tetap melaju pesat. Penambahan-penambahan gedung tak dapat dielakkan lagi. Ada
18 Lokal untuk proses belajar mengajar. Untuk pelajar putra masuk pagi
sedangkan pelajar putri masuk siang. Namun, pada era ini pihak pemerintah
mengeluarkan kebijakan baru mengenai jurusan untul Madrasah tingkat Aliyah.
Dengan beberapa konsideran dan pertimbangan yang matang oleh para dewan guru,
Madrasah Salafiyah mengganti jurusan IPS menjadi jurusan Agama. Pergantian ini
terjadi pada tahun 1987. Siswa pada masa ini sudah mencapai 2000 orang dan
kebanyakan berasal dari daerah Pati dan selebihnya dari kabupaten tetangga.
Namun setelah delapan periode berlangsung, kebijakan pemerintah pusat menghapus
jurusan agama jikalau tidak memenuhi syarat. Jurusan agama atau yang dsiebut
MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) hanya dilanjutkan jika memenuhi dua syarat,
yaitu siswa-siswinya harus diasramakan dan harus ada tutor, tiap sepuluh anak
memiliki satu tutor. Menimbang dua syarat tersebut tidak bisa dipenuhi maka
Salafiyah memutuskan untuk membubarkan jurusan Agama dan mulai tahun 1994/1995
untuk kelas satu menjadi MAN (Madrasah Aliyah Negeri) dengan pilihan jurusan
Sosial. Dan setahun kemudian dicoba membuka satu kelas MAK (Madrasah Aliyah
Keagamaan), namun baru berjalan setahun ternyata kurang mampu untuk mengimbangi
kurikulum yang ada. Hingga akhirnya dileburkan kembali dalam jurusan Sosial.
Pilihan ini tetap berjalan sampai sekarang (2001). Seputar penghapusan jurusan
agama dan peralihannya ke jurusan IPS sebenarnya menjadi perbincangan sendiri.
Para pengajar dan pengurus Yayasan Assalafiyah memberikan respons yang berbeda.
Seperti pendapat Sholihul Hadi, Wali Aliyah, yang mengatakan bahwa peralihan
jurusan tersebut akan mendatakan kesulitan baru bagi Salafuyah yakni kesulitan
mendapatkan tenaga guru untuk jurusan IPS. Hal senada juga dikemukakan oleh HA,
Soleh Ibrahim. Menurutnya, posisi Salafiyah saat ini cenderung menurun untuk
bertindak dan bergerak yang lebih hati-hati. Karena diakuinya bahwa menciptakan
bentuk pertimbangan antara ilmu agama dan ilmu dunia sangatlah rumit. Namun
secara optimis, KH Ali Ajib Baedlowi mengatakan bahwa peralihan jurusan agama
ke jurusan IPS tidak perlu dirisaukan karena Salafiyah mendapat peluang besar
dalam mencapai idealismenya untuk menelorkan generasi paripurna akseleratif
pada tuntutan eranya, mampu menjadikan seniman strategi yang layak tampil di
masyarakat. Di astu sisi, generasi paripurna tersebut berperan sebagai cerdik
cendekia yang ikut ambil bagian dalam penggarapan sains dan tehnologi dunia,
memegang kendali laju IPTEK dan di sisi lain (sekaligus) sebagai ulama-ulama
religius yang turut serta memberi corak keagamaan dalam dunia IPTEK, menanamkan
unsur-unsur religi ke alam berbagai bidang tehnologi dan menjadi sosok pengayom
masyarakat sehingga lengkaplah mereka berperan sebagai Khalifah fil ardhi.
Menanggapi hal itu, KH. Muhibbi mengemukakan beberapa hal yang diperlukan agar
tercipta siswa-siswi yang sesuai dengan krteria KH Ali Ajib, yaitu kegetolah
guru dalam menyampaikan materi, kesadaran dan kesungguhan siswa menerima materi
dan kecintaan siswa terhadap materi .
H KAMALUDDINDONESIA WEOENGEPEATEI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar